banaanaalicious. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Musik Asik Buat Bobo (versi mimin)


Musik tak pernah lepas dari kehidupan kita dan musik juga terkadang mempengaruhi mood kita. Kalau kita sedang senang dengernya yang bertema riang, kalo sedang sedih dengernya yang mellow-mellow.

Mimin sendiri suka banget dengerin lagu, apalagi kalau mau tidur karena mimin sendiri suka insomnia hihihi… jadi butuh “pengantar tidur”. Kali ini mimin mau share tentang lagu-lagu yang kudu ada di playlist kalo mau tidur,sapa tahu aja temen-temen yang lain juga ngalamin hal yang sama kayak mimin alias insomnia kalo mau tidur (nyari teman senasib seperjuangan) ;p
  1. The A Team (Ed Sheeran)
  2. My Lovely Friend (D’Cinnamons)
  3.  I Will Fly (Ten 2 Five)
  4. Kala Cinta Menggoda (Chrisye)
  5. Ruang Rindu (Letto)
  6. Bukan Diriku (Samsons)
  7. Tak Pernah Padam (Sandy Shondoro)
  8. Sebenarnya Cinta (Letto)
  9.  Sejenak (Letto)
  10.  You (Ten 2 Five)
  11.  Mercy (Duffy).
  12.   Lost (Michael Buble)
  13. Bad Day (Daniel Powter).
  14.  Crazy Little Thing Love (Michael Buble).
  15. Falling in Love at the Coffe Shop (Landon Pig).
  16. We’re All in the Dance (Feist)
  17.  Gonna Get Over You (Sara Bareilles).
  18. Butterfly (Jason Mraz).
  19. Gravity (John Mayer).
  20. La Meme Histoire (Feist).
  21. I Melt with You (Nouvelle Vague).
  22. Pumped up Kicks (Foster the People).
  23. The Lazy Song (Bruno Mars).
  24. The Scientist (Coldplay).
  25. Yesterday Once More (The Carpenters).
  26. You’re Beautiful (James Blunt)
  27. You’re Still the One (Shania Twain).
  28.  Where’d You Go (Fort Minor).
  29. Top of The Worl (The Carpenters).
  30.  Time After Time (Eva Cassidy).
Banyak lagu jadul ya?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

URBAND LEGEND DARI WONOSARI "Pulung Gantung"


Postingan saya kali ini akan membahas tentang misteri lokal. Karena saya berdomisili di daerah Yogyakarta maka saya mengangkat sebuah urban legend dari daerah wonosari. Namanya “Pulung Gantung”.
Ulasan ini saya kutip dari sumber http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=152  dan http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=153  Dibagi menjadi dua bagian namun disini saya jadikan satu.

Berikut ini adalah tulisan Ivan Sagita (seorang seniman pelukis yang berdomisili di Yogyakarta) Ini adalah tulisan perupa Ivan Sagita yang dimuat dalam katalog pameran tunggalnya di Den Haag, Belanda, 27 Agustus hingga 18 September 2011. Catatan ini juga bisa menjadi contoh menarik ketika seorang Ivan Sagita sebagai perupa tidak sekadar menghasilkan lukisan, namun juga tulisan, seusai turun ke lapangan. Selamat membaca.


I
Gunung Kidul yang meliputi pegunungan Seribu di sebelah selatan, cekungan Wonosari di tengah dan pegunungan batu Agung di sebelah utara merupakan wilayah yang terletak di selatan kota Yogyakarta, suatu wilayah yang didominasi oleh pegunungan kapur (karst), dengan tanah yang terjal berbatu-batu. Dengan karakter tanah yang demikian maka cocok tanam masyarakat sangat tergantung pada daur iklim khususnya curah hujan, sehingga sebagian besar adalah sawah tadah hujan dan merupakan tanah yang kering serta akan kesulitan air pada musim kemarau.

Ada beberapa peristiwa penting di daerah Gunungkidul yang selalu dikaitkan dengan fenomena mistik. Salah satunya adalah kasus bunuh diri. Masyarakatnya mengenal dengan apa yang disebut "pulung gantung". Secara sederhana dapat kita gambarkan fenomena tersebut; pulung gantung sebagai bola api dengan ekor panjang yang berkelebat datang dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu tetapi sering juga hinggap di atap rumah, di atas pohon atau terbang diam di ketinggian tertentu dalam waktu relatif lama.


“Bentuknya seperti lintang tapi besar, bundar tapi bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah, kemerah-merahan ya ini terus belakangnya seperti ular panjang lha ini bisa hinggap di pohon-pohon besar, rumah juga bisa”, wawancara dengan narasumber.”

Menurut beberapa orang yang pernah menjumpainya, hadirnya pulung gantung berkisar sehabis Maghrib pukul 18.00-20.00) atau menjelang subuh (02.00-04.00).

Masalah bunuh diri di Gunungkidul tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Kejadian demi kejadian yang berurutan telah terjadi sejak sekian puluh tahun yang lampau. Setiap kali terjadi, masyarakat sekitar membicarakannya, terkadang dengan serius, seringkali juga dengan entengnya, sepertinya kejadian tersebut merupakan suatu peristiwa yang lumrah saja terjadi.

“Oh, bapak… yang meninggal hari jumat karena bunuh diri itu? “Penyebabnya apa, pak?”, “Oh, ya tidak tahu,” jawabnya dengan ringan, dialog sewaktu penulis menanyakan alamat kediaman pelaku bunuh diri yang baru terjadi sehari sebelumnya. Hal semacam ini menunjukkan pada kita bahwa kejadian bunuh diri merupakan suatu hal yang sering kali terjadi sehingga bisa menjadi suatu permasalahan yang serius dan tidak serius bagi mereka.

”Bunuh diri selalu bermuatan misteri, khususnya bila dikaitkan dengan fenomena alam atau mitos masyarakat setempat. Banyak pertanyaan untuk itu. Apa kaitanya pulung gantung dengan kasus bunuh diri? Tetapi masyarakat di Gunungkidul selalu mengkaitkan keduanya, antara kejadian bunuh diri dengan hadirnya pulung gantung”. Setiap ada peristiwa bunuh diri masyarakat setempat selalu menceritakan juga datangnya pulung gantung dan menurut penuturan beberapa orang yang melihat peristiwa tersebut, bahwa rumah yang dihuni pelaku bunuh diri telah didatangi oleh pulung gantung.

Orang-orang di Gunungkidul menyebutnya sebagai “pulung gantung”. Pijar bola api yang bergentayangan di tengah malam itu dipercaya sebagai isyarat kematian yang hampir mendekati kepastian. Semacam sasmita (pertanda) yang nyaris menjadipepasten (kepastian), dalam istilah orang Jawa.

Dalam kosa kata kebudayaan Jawa, Istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu”. Dengan definisi, “pulung” atau “wahyu” di sini berarti “isyarat bahwa Tuhan atau (kadang) leluhur memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”. Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”.

Dalam pemahaman umum orang Jawa, “pulung” juga dianggap sinonim dengan segala hal yang berbau kemuliaan, kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Jika seseorang dengan cara yang mudah tiba-tiba mendapatkan sesuatu hal yang baik dan membahagiakan, orang Jawa biasanya berujar: “Ketiban pulung” (kejatuhan berkah).

Tetapi akan berbeda maknanya jika di belakang kata “pulung” itu disematkan kata “gantung”, menjadi “pulung gantung”. Tak seorangpun di Gunungkidul yang akan bersyukur bila rumahnya “ketiban pulung gantung”. Karena hal tersebut mengakibatkan suatu yang serius. “pulung gantung” dianggap sebagai isyarat kematian.”  Suatu cerita, beberapa nara sumber mengatakan bahwa sebelum seseorang melakukan tindakan bunuh diri, dia akan terobsesi melakukan tindakan yang dia sukai, terkadang juga dia akan terobsesi pada suatu tempat dimana dia akan melakukan tindakan tersebut. Bahkan dari narasumber yang keluarganya berhasil selamat menceritakan bagaimana ada seorang tua mengajaknya ke suatu tempat.

Kepercayaan semacam ini masih bertahan dengan kuat pada banyak wilayah di Gunungkidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Mereka percaya bahwa salah seorang anggota keluarga yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung tersebut akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri (beberapa kasus kadang dengan menceburkan diri ke sumur/luweng).

Suatu kejadian yang dipercaya bahwa hal ini tak dapat dicegah. Dimaknai sebagai Pepasten (kepastian). Tetapi meskipun demikian, bala masih dicoba untuk ditolak, masyarakat membunyikan titir (memukul kenthongan), mengadakan pengajian sembari berjaga siang dan malam. Bala dapat ditolak, tetapi pulung gantung akan memakan korban di daerah yang lain.

Orang-orang percaya bahwa arah hadap pelaku gantung diri juga menjadi isyarat kematian berikutnya: pada arah yang dihadap oleh pelaku gantung diri di situlah kelak pulung gantung akan turun. Misalnya, jika seorang korban gantung diri ditemukan menghadap ke arah utara, maka pada arah itu pulung gantung dipercaya akan jatuh kelak di kemudian hari.


II
Bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain psikologis, biologis, sosial budaya. Sejak jaman purba, manusia telah mengenal suatu upaya untuk meniadakan dirinya sendiri (bunuh diri). Pengertian meniadakan dirinya dalam hubungannya dengan alasan melakukan tindakan tersebut adalah suatu kesadaran dari interpretasi bahwa tindakan tersebut “hendak membunuh orang lain yang berada di dalam dirinya sendiri.” Maksudnya, terpikirkan oleh kesadarannya bahwa jiwa di dalamnya merupakan pihak lain yang tidak berhubungan dengan dirinya. Alhasil, terpikirkan bahwa tindakan bunuh diri tersebut tidak berkaitan dengan tubuhnya sendiri (ada jarak antara kesadaran dengan tubuhnya sehingga pelaku bunuh diri menganggap setelah fisiknya meninggal, dirinya masih tetap ada).

Upaya itu dilakukan dengan berbagai alasan. Kita mengenal suatu ketidakberdayaan dari seseorang sehingga dia melakukan tindakan tersebut. Dalam konteks ketidak berdayaan ini, seseorang melakukan tindakan terhadap dirinya karena hanya mempunyai keleluasaan terhadap dirinya sendiri meskipun perusakan terhadap diri sendiri ini dimaksudkan kepada orang lain.

Tinjauan yang lain, suatu teks sering mengatakan bahwa suatu absurditas dan ketakpahaman realitas hanyalah dapat diselesaikan dengan bunuh diri karena kematian merupakan akhir dari persoalan diri sendiri. Hal ini merupakan persoalan yang benar-benar serius bagi tinjauan filsafat juga. Kesadaran terhadap absurditas dan penyelesaiannya adalah suatu tinjauan kesadaran bahwa penyelesaian absurditas adalah penghancuran hidup. Tinjauan teks tersebut menjadi sekedar wacana saja bila kita mencoba memahami persoalan di Gunung Kidul (pulung gantung). Antara harmonisasi alam, keperkasaan alam terhadap manusia, jalinan anyam menganyam mitologi dan persoalan hidup tidak sekadar dapat dilihat dari tinjauan teks tentang “kesadaran absurditas dan penyelesaiannya.”

Baiklah, jika kita mencoba melihat dari pengertian manusia yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang merupakan suatu eksistensi dari sebuah keputusan, maka bila ditarik secara panjang tentu dapat merujuk pada eksistensialisme. Tetapi, kaitannya dengan permasalahan ini adakah suatu yang rasional dapat sebagai penemuan esensi-esensi permasalahan?


III
Suatu anomali dari tindakan manusia yakni bunuh diri. Sedangkan bunuh diri itu sendiri sudah merupakan anomali terhadap suatu kehidupan.

Sederet kasus yang menjadi ingatan kita bersama diawali Yudas yang meniadakan dirinya karena perasaan bersalah. Kemudian, kejadian demi kejadian terjadi, seiring dengan adanya manusia di bumi ini. Hubungannya dengan kedirian seseorang dan penghilangan diri ini, adakah tindakan yang lebih berani sekaliguspaling tidak bermakna bila seseorang melakukan tindakan tersebut.

Ternyata suatu sudut pandang dari teks saja akan mengeringkan permasalahan. Fenomena alam, keluarga terdekat dari pelaku, korban yang selamat dan tentu mitologi setempat merupakan suatu kajian pengalaman dan pengamatan untuk memahami persoalan ini. Apakah kesenian dapat menjadi jembatan? Karena hanya sisi pengalaman dan pengamatan yang notabene merupakan satu hal yang dipentingkan dalam berkarya seni. Walaupun, ekstremnya untuk memahami pengalaman tersebut adalah melakukan tindakan yang sama pula.

Seperti telah disebutkan bahwa mengenal masyarakat Gunungkidul tidak dapat lepas dari mitos pulung gantung. Pemahaman tentang mitos pulung gantung adalah pemikiran dari bayangan purba dan akan menjadi riil bila terwujud dalam keseharian dan pemikiran sosial masyarakat setempat. Permasalahannya adalah bagaimana suatu bayangan purba dapat menjadi dasar tindakan bunuh diri? Atau dengan kata lain, apakah pemikiran tentang pulung gantung dihidupi oleh masyarakat itu sendiri? Dan berakibat menjadi suatu tindakan yang konkrit? Sehingga kejadian-kejadian yang berulang tersebut menjadi salah satu ciri pada budaya setempat yakni: pulung gantung.

Maksudnya, menjadi menarik bahwa suatu tindakan bunuh diri beranyam dengan mitologi. Mitologi merupakan akumulasi gambaran-gambaran yang paralel dengan kehidupan manusia; akumulasi yang bertumbuh dalam ketidaksadaran dan didalamnya aspek-aspek tertentu dari eksistensi manusia mendapatkan ungkapan secara simbolis (pulung gantung).

Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran yang telah dikemukakan oleh Carl Gustav Jung tentang pengembangan dari suatu teori Sigmund freud tentang alam tak sadar kolektif dan isi psikisnya. Mitos “bawah sadar kolektif” tersebut dinamai arketipe, bilamana kita tarik garis lurus dengan mitos pulung gantung di Gunung Kidul maka akan menjadi jelas buat kita bahwa suatu mitologi dapat berpengaruh secara nyata di dalam keseharian masyarakat  setempat.

Pengertian arketipe berasal dari hasil penyelidikan yang berulang-ulang. Misalnya cerita mite dan dongeng-dongeng dari dunia sastra mengandung pola-pola dasar tertentu, yang muncul dimana-mana. Kita menemukan pola-pola dasar yang sana ini dengan fantasi-fantasi, mimpi-mimpi, igauan-igauan, dan khayalan-khayalan dari individu yang hidup hari ini. Bayangan-bayangan dan asosiasi-asosiasi yang khas inilah yang disebut oleh Carl Gustav Jung sebagai gagasan-gagasan arketipis. Semakin hidup gagasan-gagasan arketipis ini, semakin mereka diwarnai khusus oleh nada dasar perasaan yang kuat. Mereka meninggalkan kesan, mempengaruhi dan menarik perhatian kita. Gagasan-gagasan arketipis ini berasal dari arketipe, yang dari dirinya sendiri merupakan suatu bentuk yang tak kelihatan, tak sadar, praeksisten. Bentuk ini merupakan bagian dari struktur warisan milik psike dan ia bisa mengungkapkan diri secara spontan dimana saja dan kapan saja. Karena kodrat nalurinya, arketipe memberi otonomi kepada kompleks itu.

Permasalahan tentang manusia khususnya yang berhubungan dengan kelahiran dan kematian merupakan tema yang penting untuk menjadi dasar suatu karya.

Manusia menjadi bermakna bilamana ditinjau dari perbuatannya. Manusia dinilai dari hubungannya terhadap alam, tetapi bila seseorang menolak alam bahkan jika alam dinilai sebagai suatu ancaman dapat kita artikan bahwa manusia tersebut juga meniadakan dirinya sendiri. Hubungan dengan pulung gantung dan masyarakat Gunungkidul adalah bagaimana seseorang yang mencoba harmoni dengan alam sekaligus dia menerima mitos-mitos yang notabene berkaitan juga dengan meniadakan diri dengan  fenomena alam yang konkrit.

Jadi apakah ada fenomena alam yang selama ini diyakini sebagai bentuk yang harmonis dengan manusia dapat bertujuan menggerakkan manusia untuk merusak dirinya?

Pertanyaan, bagaimana seseorang yang mengadakan permenungan tentang diri dan dunianya; kegelisahan dari dunia meta—dunia di balik ini—, keinginan meraih suatu kenyataan yang lebih, dan hubungannya dengan permasalahan konkret yang telah menjadi keseharian di Gunungkidul itu dapatkah sebagai jawaban tentang persoalan pulung gantung (khususnya bagi mereka yang tinggal di sana).

Penafsiran cakrawala eksistensi oleh masyarakat setempat ditambah keinginan tahu tentang semuanya sekaligus ketidaktahuan apapun tentang kenyataan—selain ingin meraih kenyataan di balik kenyataan. Pertanyaan mereka, adakah suatu dunia yang tersembunyi di balik dunia yang nyata ini.

Kebiasaan kita hanya hendak mengungkapkan apa-apa yang nyata saja dan selalu untuk apa, serta tujuan menjadi kata akhir.

Ternyata dunia yang menjadi tempat untuk manusia berada ini menunjukan juga bahwa “ada” sesuatu di atas dunia itu sendiri. Alam dan dunia yang demikian netral terhadap manusia, ternyata juga penuh dinamika yang mengisyaratkan pada manusia untuk menentukan sikap dan arah hidupnya.


PERISTIWA DAN NARASUMBER
Adalah salah seorang narasumber kami; Wage Daksinarga, 32, seorang pekerja teater, penulis dan sekarang juga mengemudi truk pengangkutan pasir. Ia tinggal dan lahir di desa Paliyan, Gunungkidul, dan selama 2 tahun (2001-2003) meneliti kasus bunuh diri (pulung gantung) di sana untuk bukunya dengan judul: Talipati.

Pendapat Wage mengenai pemikiran ataupun pandangan masyarakat Gunungkidul tentang pulung gantung adalah bahwa fenomena ini merupakan suatu bentuk pemahaman masyarakat yang dilandasi unsur-unsur bawah sadarnya.

“Ketika mereka ditanya tentang pulung gantung mungkin yang tercetus merupakan imajinasinya.  Bisa jadi bukan suatu pengalaman nyata yang dialaminya karena batasan antara sadar dan bawah sadarnya tipis, sudah sekian ribu tahun masyarakat Jawa dikungkung oleh yang namanya mitos dan terus membentuk aksi dalam otak mereka.”

Hubungannya dengan pulung gantung, kembali pada tgl 13-12-2009 kami lebih lanjut membahas bersama:

Ivan Sagita: “Dalam suatu kejadian bunuh diri di Gunungkidul, apakah masyarakat selalu mengkaitkan kejadian tersebut dengan pulung gantung atau mereka melihat kejadian ini sebagai bunuh diri biasa saja seperti kejadian yang banyak terjadi di kota-kota besar, sebagian karena alasan-alasan ekonomi, konflik rumah tangga atau kekerasan dan lain sebagainya?” (Kompas,13/12/2009)

Wage: “Sebagian besar masyarakat Gunungkidul bila mana mereka tidak berbohong, dalam  hati mereka akan mengkaitkannya dengan pulung gantung karena pada prins ini  tidak ada dalam masyarakat Jawa.”

Mitos telah menjadi suatu hal yang konkrit; suatu cerita yang selalu dihidupkan oleh masyarakat itu sendiri. Akhirnya, cerita danlegenda bertumpuk dengan kejadian nyata dan berbaur dengan imajinasi masyarakat setempat.

Ditambahkan pula oleh Wage “Setelah kejadian, biasanya saya tidak langsung ke korban tetapi saya ke  warung, tambal ban, tukang bensin dan dalam pembicaraan mereka misalnya ada  sekelompok 4 orang minimal 3 orangmengkaitkan kejadian tersebut dengan pulung gantung.”

Inilah suatu pernyataan yang merujuk bahwa ketidaksadaran kolektif telah menghidupi dan dihidupi oleh mereka sendiri.


Lepas dari satu mati tertampung di mati yang lain…..
Untuk ke dua kalinya kami berkunjung di kediaman Sarno. Seperti pada umumnya, rumah yang sangat sederhana dengan dinding bambu beralaskan tanah, sederet genting tipis yang tampak ringkih. Rumah yang tak teraliri listrik, seonggok teplok (lampu minyak tanah) tergantung dari langit-langit. Di dalam rumah, sebuah dipan kayu dan sebuah meja yang mengisi rumah tersebut. Tampak disudut, dibatasi  selembar  triplek, Sarno  seorang  korban yang  selamat  dari  usahanya bunuh diri, kini telah terbaring lumpuh selama 8 tahun. Hanya tubuh bagian atas yang masih bisa digerakkan dan sekian lama dia tidak pernah turun dari tempat tidur. Dalam keseharian ia melihat orang-orang hanya dengan tatapan mata nanar, marah dan tak berbicara apapun. Sang istri yang menemani dan merawatnya meski tak jarang tamparan, erangan marah yang didapat.

Sarno, seorang yang selamat dari suatu usaha untuk kematian dirinya kini mengalami bentuk kematian yang berbeda; selamat dari kematian yang satu dijemput oleh kematian yang lain. Satu ketidaksadaran keseharian dengan tak tahu lagi antara sakit ataupun bahagia, berada dalam suatu titik nol. Adakah makhluk yang lain yang seperti Sarno ini yang selalu dilekati oleh suatu kematian. Usaha untuk membebaskan dirinya dari permasalahan dengan menjatuhkan dirinya ke dalam sebuah lubang (luweng) sedalam 12 meter tak berhasil. Tertolong oleh tim SAR meskipun dengan tulang punggung yang patah sehingga kelumpuhan menyertainya.

Seiring dengan kejadian tersebut, ketika terangkat dari lubang dia masih bisa berbicara dengan lemah, dikatakan bahwa seorang tua berbaju putih menuntunnya untuk terjun ke dalam lubang itu. Tetapi, alasan Sarno melakukan tindakan tersebut simpang-siur. Beberapa orang mengaitkannya karena stres alasan ekonomi tetapi sebagian orang mengaitkannya dengan orang tua berbaju putih sebagai pengejawantahan dari pulung gantung dalam bentuk yang lain.

Terangkat dari lobang yang dalam, seketika yang keluar dari mulutnya adalah bahwa tindakan tersebut karena ajakan dari “orang tua berbaju putih”. Alasan tersebut merupakan penyangkalan ataupun pembenaran suatu tindakan, bahwa tindakan ini bukanlah tanggung  jawab dirinya. Hal ini merupakan suatu sisi mistik, kaitannya dengan hal yang transenden. Ataupun suatu mitos pulung gantung telah dapat sebagai suatu alasan bagi sebuah tindakan nyata. Kondisi Sarno saat ini, telah menjadi saksi hidup untuk masyarakat sekelilingnya. Dia merupakan salah satu mata rantai korban atas kekuasaan kosmos terhadap dirinya. Dan hal ini disetujui oleh kepala dusun bapak Widodo yang mengakui bahwa kejadian yang menimpa Sarno akibat dari pulung gantung, ditambahkan pula oleh tetangganya yang lain bahwa pulung gantung akan menghinggapi pada orang yang miskin dan yang sedang kosong pikirannya.

Sekian lama organ tubuh bagian bawahnya yang tidak digunakan kini mengecil, tampak lunglai tak memijak ke bumi. Sebelumnya, tapak kakinya yang mengipas lebar dan kekar menapak ke bumi ketika mencangkul sambil ia mengendus lahap harum tanah ketika air hujan jatuh. Harapan benih yang ditanam dapat tumbuh dan berakhir serta memenuhi perutnya yang kosong. Tetapi bumi yang dicintai, dihidupi dan menghidupinya telah menjadi sebuah tempat  menerima bentuk kematiannya yang lain. Manusia ini akhirnya menerima suatu tawaran alam. Struktur modern tak menjamah pikirannya melainkan “seorang tua berbaju putih“ yang merupakan suatu bentuk simbol kosmos (pulung gantung) menjadikan kata akhir yang ada di benaknya dan membawanya memasuki fase kematian yang kini.


Keluarga dan kesukaan telah kau tinggalkan…..
Suatu kejadian pada hari Jumat, 2 Oktober 2009 di sebuah gubuk petani di pantai Ngetun, ditemukan seorang laki-laki bernama Kaser (bukan nama sebenarnya), 55, warga Tepus yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Kejadian ini mengantar kami keesokan harinya untuk mengetahui lebih lanjut tentang permasalahan pulung gantung, sebuah hubungan fenomena alam dengan manusia. Ini merupakan kali kesekian kami secara langsung datang ke daerah Gunung Kidul. Wilayah Tepus merupakan ujung tenggara kawasan Gunung Kidul yang dekat dengan Wonogiri. Melewati bukit kapur serta hutan jati yang tandus, tidaklah mudah mencari kediaman pelaku bunuh diri tersebut. Halaman tanah kemerahan dengan dikeraskan batu karang putih, rumah limasan yang tampak muram berdinding papan berlantaikan potongan batu putih sederhana bersuasana mengiringi kesedihan yang terpancar dari wajah istri serta anaknya.

Penuturan mereka, Kaser pamit untuk pergi memancing ke pantai sebelum ditemukan gantung diri. Tidak ada tanda-tanda hendak bunuh diri ataupun menunjukkan hal-hal yang aneh saat itu, serta tidak ada permasalahan dengan pihak manapun semasa hidupnya sehingga pamit memancing yang merupakan hobinya tidak menjadi kecurigaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kaser sering membawa hasil pancingan baik ikan besar maupun kecil untuk lauk keluarganya.


Suwung,…
Kemarin, tanggal 21 Desember 2009 kembali kami datang ke Desa Sureng, Purwodadi, Kecamatan Tepus. Pembicaraan kami dengan Ipha ketika menyinggung tentang almarhum ayahnya, tampak tatapan mata kosongnya dengan sedikit getaran di bibir ketika ia menceritakan bagaimana kesukaan dan kemanjaan yang diperoleh ketika ayahandanya masih ada saat itu, sekadar sepotong ayam dan boncengan motor ke sekolah telah membuat dia gembira. Kini alam pikirnya menjadi kosong sehingga lamunan kenangan juga tak dapat mengisi kekosongannya. Sebuah dipan kayu di sudut pun tampak kosong. Senthong (kamar) pun kosong. Pintu-pintu terbuka pada dinding papan menjadi gambaran sebuah ilustrasi tentang suatu kekosongan. Di ujung tampak sekadar dua ekor tikus lalu lalang seakan dia mencoba mengisi kosong tersebut, kosong hati, kosong ruang, kosong bilik, kosong dipan, kosong tatapan kini melekatinya.

Ibundanya menimpali “Ya, ini akibat pulung gantung”, selain kosong mimiknya juga tampak sedih tergurat di wajah. Kini persoalan menimpa mereka berdua, persoalannya: adakah perihal yang ternyeri selain perihal kekosongan?

Persepsi mistik, daur ulang pengetahuan tentang kepercayaan mistik oleh masyarakat “modern” sekitar telah membingkai kisah nyata, bahwa berakhirnya dari semua ini adalah ketakberadaan atau kekosongan. Era modern yang dikatakan dapat menambal kekosongan manusia atau ketaklengkapan manusia, kini mencoba melihat atau memahami kepercayaan mistik pulung gantung dengan menerima kenyataan bahwa akibat akhir dari pulung gantung adalah kekosongan. Hal ini kebetulan pada persoalan pergi ataupun yang ditinggal pergi, ternyata titik singgung pikiran modern yang mencoba memahami pulung gantung hanya berhasil mengetahui bahwa persoalan dan persoalan dasar manusia berakhir pada kosong.


Ipha Selanjutnya
Seperti kita ketahui bahwa fenomena pulung gantung telah menjadi kenyataan sehari-hari bagi masyarakat Gunungkidul. Hal ini berakibat masyarakat setempat yang mengenal/mengetahui akibat dari peristiwa pulung gantung bukanlah menganggap sebagai peristiwa yang luar biasa, seperti halnya suatu siklus alam antara musim kemarau dan musim hujan. Hal ini terbaca saat kami mengunjungi Ipha untuk terakhir kalinya (11 Juli 2010).

Pengertian pulung gantung oleh Ipha seperti halnya pengertian masyarakat setempat yang menganggap bahwa pulung gantung merupakan penyebab orang bunuh diri. Baginya, sebagian besar orang-orang yang meninggal karena pulung gantung adalah orang yang sedang kosong pikirannya sehingga mudah dirasuki oleh roh jahat.

Kini, ekspresi wajah Ipha tentu saja sangat berbeda dengan Ipha yang kami temui sewaktu dulu, pertanyaan sudah terjawab oleh Ipha tentang penyebab kematian ayahnya. Ada suatu kelegaan di wajahnya karena mengetahui penyebab dari peristiwa tersebut tidak semata-mata kesalahan ayahnya melainkan didorong oleh suatu roh jahat. Pengertian semacam ini telah menjadi pengertian masyarakat setempat pula, ditambah dengan faktor kepasrahan, kini Ipha telah menjadi sosok yang berbeda. Tampak kuat dan lebih dewasa dari sebelumnya. Kalimat-kalimatnya meluncur dengan riang ketika membicarakan tentang sekolahnya maupun dunia remajanya.

Suasana lebih hidup kini telah mewarnai keluarga yang pernah mengalami kejadian kematian tersebut. Ipha kini tidak tertarik ketika diajak membicarakan topik pulung gantung. Manusia yang dikenal sebagai makhluk yang adaptif telah dapat mengatasi suasana mati di rumah tersebut, tempat yang sama yang mereka tinggali sejak lampau. Kini kelengangan rumah itu telah tertutup oleh wajah ceria Ipha. Pertanyaan yang tak terjawab oleh modernitas tentang kekosongan lewat berjalannya waktu telah terselesaikan oleh ekspresi wajah.

Wajah adalah milik kita bersama. Kita mengenal wajah sebagai identitas, baik secara individu maupun publik. Masyarakat dapat ditandai dari wajahnya pula. Pengenalan individu dari wajah tercatat antara lain dalam kartu identitas yang formal. Ranah individu, publik sekaligus ekspresinya dapat dikenali hanya dari wajah. Bahkan lebih jauh pernah dikatakan tak dibutuhkan lagi komunikasi selain tatapan ke wajah. Dari sini dapat kita katakan wajah mempunyai arti yang penting. Cermin dari suatu jiwa dapat juga terlihat dari wajahnya. Sekelompok masyarakat dari pasar tradisional, dapat terbaca permasalahannya dari wajah-wajah mereka. Dasar yang paling komunikatif untuk melihat permasalahan di suatu daerah dapat diwakili oleh ekspresi wajah-wajahnya.

Hal semacam ini digaris bawahi oleh Schopenhauer bahwa sedemikian pentingnya sebuah wajah sebagai suatu refleksi dari gambaran batin manusia bahkan lebih jauh dinyatakan bahwa pembacaan yang salah tentang karakter dari wajah seseorang bukanlah kesalahan dari wajah itu sendiri melainkan dari pembacanya artinya bahwa wajah memiliki suatu kebenaran mutlak sebagai cermin batin manusia.

Hegel menekankan bahwa tubuh, khususnya wajah, memanifestasikan jiwa: “wajah memiliki sebuah … pusat yang di dalamnya relasi kejiwaan dan kerohanian dengan materi termanifestasikan .” 

Hal tersebut diatas merupakan suatu sudut pandang uraian tentang wajah. Wajah yang dapat menyiratkan suatu kepercayaan diri, wajah juga membuka suatu pengertian komunikasi ataupun pemahaman dari pihak luar terhadap dirinya. Sedangkan identitas Ipha yang sebelumnya merupakan identitas kematian dari ayahnya ataupun suatu identitas kepercayaan masyarakat setempat yang selalu digayuti oleh pengertian kematian yang tidak dipahaminya, kini telah hilang. Dalam hal ini melihat wajah Ipha sewaktu kejadian kematian ayahnya adalah wajah masyarakat Gunungkidul secara keseluruhan, menyiratkan ketidakpahaman tentang suatu kehilangan yang tiba tiba, alam yang tidak berpihak, alam yang memberi energi hidup sekaligus alam memilih kematian siapa yang akan diambilnya. Upaya kentongan yang bertalu-talu ataupun suara doa yang dipanjatkan untuk keselamatan terdengar bergema untuk menghindari ‘wajah-wajah mati’ (pulung gantung).

Dapat disimpulkan persoalan mengenal wajah adalah sesuatu yang terpenting untuk dapat membaca suatu permasalahan di dalam masyarakat. Wajah Ipha ataupun ibunya saat itu adalah gambaran identitas wajah tentang mati, sekaligus gambaran ketakpahaman tentang mati yang bisa datang sewaktu-waktu.

---------------

Saat itu juga, pada 3 Oktober 2009 kami bertemu dengan seorang penyuluh lapangan (Kasiar) yang mengulas banyak hal tentang pulung gantung. Menurutnya, pulung gantung memang ada dan selalu berkelanjutan

“Bentuk pulung gantung seperti lintang tapi besar, bundar bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah, kemerah-merahan dan dibelakangnya seperti ular panjang/tali yang sering kali digunakan untuk bunuh diri (dadung), hinggap di pohon-pohon besar maupun rumah tinggal. sepanjang dia berkelebat warnanya berubah-ubah. Berkilatan merah, berkilatan kekuning-kuningan, berkilatan kemerah-merahan, berkilatan hijau.”

”Bermacam-macam, ada yang menggunakan jarik selendang, terus kadang-kadang ada yang menggunakan dadung kangkung, dadung lembu itu bisa, kadang-kadang menggunakan tambang plastik,”

Jawabnya ketika kami bertanya alat apa yang sering digunakan pelaku untuk gantung diri.

Sesaat setelah Kaser dikubur, di wilayah Prigi yang tidak jauh dari kecamatan Tepus ada pula warga yang nggantung (bunuh diri dengan gantung diri) dan langsung dimakamkan hari itu juga untuk menghindari korban lainnya. Ada hal yang menarik saat kami melakukan percakapan dengan narasumber ini, dengan tenangnya ia menceritakan bahwa kakak perempuan, keponakan, kakak ipar, tetangga serta besannya semua meninggal dikarenakan gantung diri. Menurutnya pulung gantung-lah penyebab kematian mereka.

Menurut adat Jawa di Gunungkidul, jika seseorang meninggal karena bunuh diri maka cara pemakamannya tanpa dimandikan serta tanpa dibungkus kain mori. Karena diyakini jika menggunakan prosesi tersebut akan menimbulkan kejadian yang berkelanjutan. Menurut Kasiar, narasumber kami.

“Kalau korban bunuh diri dimandikan serta diberi kain mori malah nanti berkelanjutan, jadi di belakangnya yang dicurigai masih ada-ada saja itu. Memang hal ini prinsip dari orang Jawa kuno, misalnya terjadi seperti itu ya seperti ngubur anjing aja, persis anjing itu ga dimandiin ga diapa-apa langsung dikubur pakai tikar.”

Mengejutkan memang, tetapi itulah yang terjadi di Gunungkidul, sebuah mitos tentang pulung gantung dan telah mendarah daging dalam nadi masyarakat serta telah diyakini merenggut banyak penduduknya.

   
Ketakutan
Pada hari Kamis, 04 Maret 2010, untuk kesekian kalinya kami melakukan perjalanan menelusuri jejak pulung gantung di Gunungkidul untuk mengenal lebih dekat mitos tersebut. Akhirnya sekitar pukul empat sore tibalah kami di kediaman Pak Kasiar, seorang narasumber yang memiliki banyak “kelebihan”.

Pada saat itu, Kasiar menganggap kami berjodoh dengannya karena bisa berjumpa tanpa janji terlebih dahulu. Kebetulan saja dia baru pulang dari kota Yogyakarta untuk mengurus sesuatu hal di Jamsostek.

Hal yang pertama kali kami tanyakan adalah perbedaan pandangan orang tentang pulung gantung. Sebagai orang luar, kami ingin mendapat kejelasan yang lebih tentang pulung gantung dari Kasiar karena banyak orang yang tinggal di wilayah berbeda di kawasan Gunungkidul yang tidak mempercayai keberadaan pulung gantung. Menurutnya, manusia di manapun pasti memiliki banyak perbedaan sehingga sangat wajar jika di masyarakat Gunungkidul ada yang percaya dan tidak, karena berbeda keyakinan.

Kami pun melontarkan keinginan bila sewaktu-waktu entah bulan depan, kami tinggal sehari dua hari di rumahnya untuk bermalam dan dengan antusias dijawabnya “Bisa, sangat bisa”. Kebetulan ada berita di daerah Pak Kaser kurang lebih seminggu dua minggu yang lalu tampak pulung gantung yang berkeliaran meskipun tidak membawa korban dan banyak orang yang menyaksikan hal tersebut. Kami pun sangat bersemangat dan meminta Kasiar untuk mengantarkan kami ke wilayah tersebut saat itu juga.

Selama di perjalanan kami membicarakan tentang pulung gantung. Kasiar seorang yang memiliki daya lebih ternyata memiliki kengerian terhadap pulung gantung. Tiap malam, hal yang dia takuti adalah pulung gantung, yang kelihatan mencorong-corong. Bila jalan di tempat yang agak sepi ketakutan itu datang, nyeri dan mengkorok. Diapun kurang tahu dari mana asal pulung gantung, mungkin sesuatu yang berkeliaran, sesuatu yang nglambrang (tanpa arah). Dia berulang kali mengatakan kalau dia takut bertemu dengan pulung gantung.

Karena letak desa yang kita tuju sangat dekat, maka kurang dari 15 menit sampailah kami di daerah Purwodadi, Tepus. Kami pun menuju sebuah rumah yang tampak lebih “berada” dari rumah di sekitarnya. Ternyata Pak Sudiono yang kami cari masih berada di ladang, kami pun diperbolehkan masuk oleh istrinya dan dipersilakan untuk menunggu karena sebentar lagi suaminya akan pulang. Selama menunggu, kami pun meneruskan percakapan kami dengan Kasiar.

Lebih lanjut Kasiar mengatakan bahwa seseorang yang melakukan nggantung tidak sadar jika dirinya melakukan tindakan untuk menghilangkan dirinya tersebut, sangat berbeda dengan bunuh diri yang lain semisal minum racun yang tentunya sangat disadari oleh pelaku bunuh diri tersebut. Kalau menggantung, dia yakin bahwa korban itu tidak ingat dengan apa yang dilakukannya, karena banyak kejadian bunuh diri dengan cara menggantung yang sebenarnya tidak logis jika tindakan ini mengakibatkan kematian.

Semisal Paser yang menggantung di gubuk dekat pantai, dengan posisi yang lututnya masih menyentuh tanah, posisi seperti orang berlutut sangat tidak mungkin jeratan tali bisa merenggut nyawanya. Sedangkan nggantung secara logis adalah posisi kaki yang minimal 5 cm menggantung dan tidak menyentuh tanah. Lebih lanjut menurut Kasiar, Pulung gantung adalah makhluk halus yang menjadi mata-mata orang sehingga orang tersebut lupa ingatan, tidak tahu dia digantung, ada “kawan-kawan” yang membantu seseorang tersebut mengakhiri hidupnya.

Akhirnya sekitar jam lima sore, Pak Sudiono tiba dari ladang, kami pun langsung menanyakan tentang kebenaran pulung gantung yang berkeliaran. Dia mengiyakan bahwa sekitar dua minggu yang lalu memang ada sejenis bola api berwarna merah yang tidak tentu ketinggian terbangnya di wilayah Sureng dengan arah yang tak beraturan. Banyak warga yang menyaksikan. Akhirnya bola api itupun mendapat korban dari Dusun Nglutan yang masih satu wilayah Purwodadi Tepus.

Sebenarnya sudah ada upaya warga untuk terbebas dari pulung gantung dengan membunyikan pecut diharapkan pulung gantung akan pergi dari wilayah tersebut. Upaya lain yang dilakukan masyarakat adalah dengan ruwatan atau mengadakan upacara dengan harapan bala tersebut menjauh dari wilayah itu.

Sebuah pernyataan dari Pak Kasiar tentang ketakutannya bila datang ke wilayah Sureng di waktu malam, takut menjumpai pulung gantung kewibawaannya yang membuat mengkorok (bulu kuduk berdiri). Akhirnya kami pun membahas ketakutan tersebut, seorang Kasiar yang memiliki kelebihan dibandingkan masyarakat pada umumnya pun takut menjumpai pulung gantung karena sangar (menakutkan) sekali bagi mereka.

Akhirnya kami pun menyudahi kunjungan kami di rumah Pak Sudiono, kami pun pulang dengan mengantarkan pak Kasiar terlebih dahulu. Di perjalanan menuju Jogja kami pun membicarakan hal-hal yang kami dapatkan tadi. Ketakutanlah yang menjadi fokus kami, kewibawaan seperti apakah yang dimiliki pulung gantung sehingga membuat masyarakat bahkan seorang Pak Kasiar menjadi ngeri untuk keluar rumah. Kewibawaan sebuah tanda kematian atau ketakutan terhadap kematianlah yang membuat banyak orang menjadi ngeri terhadap pulung gantung? Kesaktian seperti apakah yang ditawarkan pulung gantung sehingga membuat manusia mengkorok (berdiri bulu kuduknya)?

Sebuah perenungan panjang akan kewibawaan kematian maupun tanda kematian untuk menjadi sebuah karya diharapkan dapat memberi suasana tentang mati. Seperti halnya pulung gantung memberi kengerian terhadap masyarakat.

Hal lain, banyak orang tidak mempedulikan wilayah di luar keberadaan materiil mereka. Wilayah itu kita tutup dengan sebuah tembok yang dibangun dengan pancaindra, yang membuat kita percaya hanya pada hal yang bisa kita sentuh dan bisa kita lihat. Akan tetapi kewibawaan pulung gantung mampu menembus dinding itu, seolah dinding itu transparan. Bagi kami, hanya ada satu kesimpulan di sini bahwa kita semua telah terlibat dengan kematian sejak awal mula. Kita dikelilingi oleh banyak peristiwa dan tanda yang menggiring kita pada kematian tersebut. Hanya saja adakah keberanian maupun kesiapan untuk menghadapi tanda maupun kematian itu sendiri?
   
---------------

Lain Kasiar, lain pula pandangan Mbah Rejo tentang pulung gantung. Jauh hari sebelum bertemu narasumber Kasiar, pada tanggal 26 Agustus 2009 kami menemui Mbah Rejo untuk kedua kalinya, seseorang renta yang dipercaya masyarakat sekitar memiliki daya linuwih (kelebihan daya spiritual) dengan kebiasaannya mengelilingi kampung pada pukul 02.00 atau 03.00 dini hari. Berkomunikasi dengannya merupakan tantangan tersendiri usia lanjut telah berpengaruh terhadap daya ingat maupun daya dengarnya. Sering kalimat-kalimat dan ceritanya tak tentu arah. Seperti igauan-igauan untuk dirinya sendiri, melantur ke arah cerita lain, sering pula ke arah sejarah yang dia juga hafal di luar kepala.

Menurut dia yang pernah menyaksikan pulung gantung ketika tetangganya meninggal bunuh diri, pulung gantung berbentuk seperti ular kemerahan dan hinggap di pohon randu pada halaman rumah korban. Ia pernah juga melihat pulung yang berbeda, warnanya seperti lampu petromaks yang terang bersinar putih kekuningan dan jatuh di sebuah desa tetangga, kejadiannya kurang lebih pukul 16.00 WIB. Pendapatnya, pulung itu membawa keberuntungan bagi penduduk sekitar dengan ekonomi yang mendadak berubah, mereka menjadi lebih sejahtera.

Sedangkan bagi Mbah Rejo, pulung gantung merupakan makhluk yang berasal dari laut Selatan. Segala upaya masyarakat untuk menolak pulung gantung tidak akan berhasil. Karena pulung gantung hanya akan pergi jika memang ingin pulang ke laut Selatan.

Dari percakapan kami dengan para narasumber, dapat kami tarik benang merah bahwa kepercayaan masyarakat Gunungkidul terhadap pulung gantung sangatlah tinggi dan beriring dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kejadian demi kejadian bunuh diri berkaitan dengan pulung gantung.


Kamis-Jumat, 24-25 Desember 2009
PERTEMUAN selanjutnya dengan Pak Kasiar yang semula kami anggap hanya sebagai penyuluh masyarakat ternyata dia juga seorang paranormal yang mengkhususkan diri dalam bidang pengobatan. Dengan komunalnya sekitar 15 orang setiap malam Jumat sejak pukul 21.00 malam hingga pukul 01.00 malam dini hari mereka mengadakan terbanan, yakni melagukan ayat-ayat suci Al-quran dengan diiringi menabuh alat musik terban. Acara ini dimaksudkan untuk meminta keselamatan dijauhkan dari marabahaya dengan mengkhususkan menolak bala dari pulung gantung. Mereka menyadari bahwa pulung gantung merupakan suatu bala dan alunan ayat-ayat suci yang dapat menolaknya.

Percakapan kami dengan Kasiar tentang pulung gantung, kembali ia menegaskan: “Pulung gantung telah banyak diketahui oleh masyarakat di daerah sini baik bentuk, warna serta sering mereka mengetahui arah datangnya pulung gantung.”

Pulung gantung akan hinggap kepada orang yang sedangkan kosong pikirannya. Bahasa Kasiar adalah kosong imannya. Entah, disebabkan karena masalah ekonomi, pertengkaran dalam keluarga atau penyakit. Dan hinggapnya pulung gantung pada orang tersebut berakibat seseorang tersebut termotivasi untuk bunuh diri. Dia menambahkan pula bahwa kedatangan pulung gantung bisa saja berbentuk manusia yang dikenal oleh korban dan dalam tindakan bunuh diri tersebut, sang korban akan dibantu di dalam prosesinya. “Satu orang” akan mengalungkan tali di lehernya serta “seseorang yang lain lagi” akan mengangkat tubuh korban. Sehingga motivasi ataupun proses kematiannya merupakan sesuatu tindakan yang didorong serta dikonkretkan oleh sang pulung gantung tersebut.

Saling menimpali tentang keberadaan pulung gantung di antara komunal tersebut. Lain lagi kesaksian Parno yang melihat pulung gantung sekitar 40 hari sebelum kedatangan kami kali ini. Ceritanya, sekelompok orang yang salah satunya adaah Parno sedang menyembelih kambing di acara sripah (meninggalnya seorang warga yang pernah mencoba bunuh diri tetapi selamat meskipun akhirnya meninggal karena jatuh terpeleset ke dalam jurang ketika mencari makanan ternak). Waktu itu tiba-tiba mereka melihat pulung gantung yang melesat meninggalkan kediaman mbah Karto.

Menurut Saino, pulung gantung adalah setan siluman berbentuk seperti bola api, bisa juga seperti manusia dan hal tersebut merupakan suatu bentuk penyakit yang bisa masuk ke dalam manusia yang sedang memiliki pikiran yang tidak “pas”. Mendorong mereka untuk melakukan  bunuh diri. Jadi orang yang pikirannya kosong akan mudah dimasuki oleh pulung gantung, tambahnya.


Tepus…
Atap rumah-rumah di Gunung Kidul khususnya di daerah Tepus bergenting tipis menghitam kelumutan. Pada kerpusnya (wuwung) berhiaskan aksesoris ornamen yang terbuat dari seng terkadang berbentuk rumah-rumahan atau sulur-suluran ornamentik. Dari hal ini seakan menyiratkan kepada kita, sesuatu yang teratas bagi penghuninya terbentuk pada wuwung yang merupakan suatu tempat sakral dan juga merupakan suatu tempat terindah, tempat tertinggi yang mencerminkan penghuninya.

Wuwung merupakan suatu media bertemunya penghuni rumah dengan alam kosmos di atas. Seperti halnya bertemunya orang sekitar Tepus dengan pulung gantung miliknya. Jalan di sekitar rumah Pak Kasiar yakni di Tegalweru, desa Tepus sama dengan jalan pada umumunya di desa di Gunung Kidul dengan susunan batu karang putih yang tajam dan meruncing seakan  menggambarkan bahwa kehidupan alam bumi mereka yang keras dan tajam. Alam di atas alam gaib, alam di bawah alam keras.


Watu Putih    
Susunan batu putih menutupi ruas jalan, bertapaknya kaki-kaki telanjang melewatinya. Kaki mereka tak beralas, dengan punggung menggendong beban rerumputan dan daun yang dicarinya untuk ternak. Setiap langkah kaki mereka dengan beban di punggungnya itu menjadikan tumpuan di kaki semakin berat, sementara jalan yang ditapakinya merupakan susunan batu yang tajam. Dari tapak-tapak kaki mereka mendapatkan kesakitan, juga hal ini memberi kesadaran bagi mereka bahwa hari ataupun jam yang dilewati dalam hidup kesehariannya  sama halnya dengan langkah kesakitan ini.

Tentunya dengan beban di punggung membuat badan mereka doyong ke depan, menyiratkan menghindari semua beban bertumpu pada kaki-kaki tersebut. Posisi badan yang doyong ke depan terseimbangkan dengan langkah-langkah yang bergegas itu. Tubuh yang terselamatkan tidak tersungkur ke depan ternyata terjaga oleh kesakitan. Kesakitan akan diabaikan dan menjadi hal yang biasa-biasa saja. Keselamatan menjadi prioritas bagi keseharian mereka. Kesakitan adalah hal keseharian yang selalu ditemui seperti halnya setiap kali mereka menapakkan kakinya di tanah. Kesadaran tentang keseimbangan ada di dalam keseharian, mereka meskipun mereka mendapatkannya dari bumi tetapi terbayar juga dengan luka di kaki. Sakit tidak lagi menjadi permasalahan karena suatu keselamatan yang didapat itu akhirnya sanggup mengatasi segala bentuk kesakitan tersebut.


…titik pikiran…titik nyata…
28 Desember 2009, kembali dan kembali lagi kami ke tempat Kasiar. Perjumpaan kali ini banyak yang kami dapat selain ketegasan pengakuan dari Kasiar sendiri bahwa dia adalah seorang “tua” yakni seseorang yang dianggap oleh masyarakat sekitar memiliki kemampuan supranatural dan dapat menyembuhkan orang yang khususnya terkena gangguan dari alam lain. Saat itu di rumahnya bertamu empat orang lelaki berusia sekitar 60 tahunan. Di ruang tamu berjajar meja kayu serta dipan kayu sederhana. Semuanya tampak lengang, meskipun terjadi pembicaraan yang serius di antara mereka.

Salah satu dari mereka adalah Suradi yang sekitar 2 bulan lampau mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan pulung gantung. Kejadian tersebut menurut pengakuannya adalah diawali datangnya dua laki-laki setengah baya di pagi hari yang mengajaknya pergi, selang sekian hari Suradi pun bersiap untuk mengikuti mereka tetapi karena pada hari itu cuaca terik maka mereka menunggu hingga sore hari “…mengko wae nek wis ra panas.. (nanti saja kalau sudah tidak panas)” ujar salah satu dari mereka.

Petang telah datang, beranjaklah Suradi hendak meninggalkan rumah untuk mengikuti tamunya tersebut. Bagi keluarganya, dalam beberapa hari itu tingkah laku serta tindakan Suradi tampak ganjil dan juga selalu tercetus kata “…Mesakke wong loro kui, wis nunggu kawit mau, aku arep lunga melu (kasihan dua orang itu, sudah menunggu dari tadi, aku akan pergi ikut mereka).”  Perasaannya saat itu hanyalah girang dan girang serta sangat berkeinginan untuk pergi dengan ke dua orang tersebut.

Sebaliknya bagi keluarganya, situasi menjadi tidak terkendali. Kata-kata “diajak” dan “pergi” yang terlontar dari Suradi terdengar aneh bagi keluarga, ditambah lagi karena mereka tidak melihat seorangpun yang menunggu Suradi di depan rumah, tepatnya di bawah barongan bambu (sekelompok pohon bambu yang lebat) seperti yang dikatakan Suradi. Omongan dan igauan berulang yang tidak terarah, menambah kekhawatirkan keluarga. Dan, puncaknya ketika berkelebat Suradi hendak pergi, lolongan tangis dan teriakan keluargapun tak kuasa untuk menahannya. Hal ini adalah situasi tak sadar bagi Suradi, dekapan erat oleh para tetangga tak kuasa menghentikannya. Dia mengibaskan segala pelukan warga dengan tenaganya yang tiba-tiba menjadi sangat kuat, upaya terakhir sang istri dengan menarik kaos bagian tengkuk leher Suradi membuat ia malah mendekap erat batu besar yang seakan menjadi lekat dengan tubuhnya. Tarikan keluarga serta tetangga tak mampu menarik Suradi kembali kedalam rumah.

Kasiar menambahkan “…akhirnya pukulan di kepala yang sangat keras dan doa oleh saya yang membuat pak Suradi lunglai dan melepaskan dekapannya pada batu tersebut”. Dalam Seminggu setelah kejadian tersebut sang istri selalu mengamankannya, kemana ia melangkah tak lepas dari pengawasan. Dan dua hari setelah kejadian itu masih juga dikatakan bahwa 2 orang tersebut tetap menunggunya hingga sang istri bertindak membakar segenggam cabe di bawah pohon bambu itu dan disiramkan air panas serta umpatan “….men picek matane (biar buta matanya)”. Hanya sang istrilah yang berani melakukan tindakan tersebut meskipun dia tidak melihat dua sosok itu. Ditambahkan pada jam 23.00 malam dia menyebarkan air seni di sekeliling rumah sebagai penangkal kedatangan “tamu” pembawa bala bagi mereka.

Dua orang tak berwujud tetapi sangat dipercaya bahwa mereka merupakan sosok-sosok yang hendak mengantar Suradi ke alam lain. Hal ini bagi mereka merupakan suatu “gangguan” yang masih bisa ditangkal. Alam gaib yang telah ditandai dengan datangnya pulung gantung di pohon munggur dan dilihat beberapa orang serta Suradi sendiri sekitar dua hari sebelum kejadian tersebut telah menjadi nyata dengan kalapnya Suradi untuk pergi menyertai “dua orang” itu yang baginya sendiri nyata tetapi bagi orang lain tak ada. Meskipun “tak ada” bagi tetangga sekitar, tetapi dapat menjadi suatu bala dan khususnya bagi Suradi. Diskripsinya adalah entah karena apa waktu itu Suradi memiliki imajinasi-imajinasi atau alam bawah sadar serta telah menangkap kedatangan “dua orang” tersebut dan meyakininya sebagai sesuatu bentuk manusia yang konkret dan membuatnya kalap sehingga melakukan tindakan nyata yakni pergi tanpa ingat dan tak hirau apapun “…wis ra kelingan karo anak bojo, anane seneng karo seneng pingin melu wong kuwi (sudah tidak ingat dengan anak istri, adanya cuma senang dan senang ingin ikut orang itu).”

Tetapi bagi warga sekitar “dua tamu tersebut” adalah riilnya pulung gantung dan kejadian nyata dari alam lain serta dapat berakibat fatal (konkret) bagi Suradi bilamana dia pergi. Suradi memahami kehadiran “dua orang” tersebut adalah nyata (riil) sehingga berakibat melakukan tindakan yang nyata pula. Akan tetapi oleh warga sekitar “dua orang” tersebut tidak nyata secara wadag melainkan jelas adalah hadirnya pulung gantung.

Ini adalah suatu bentuk kepercayaan yang sulit dimengerti. Kesadaran diri Suradi yang telah hilang untuk sekian hari dan bawah sadarnya yang mendorong untuk mengikuti “dua orang” yang tidak dikenalnya, serta kekhawatiran dari masyarakat sekitar dan keluarganya bila Suradi pergi dalam keadaan semacam itu yang terjadi adalah dia akan menceburkan dirinya ke dalam luweng (sumur kering) atau akan melakukan tindakan menghilangkan dirinya yang dibantu oleh “dua orang” tersebut. Rangkaian kejadian ini merupakan suatu kenyataan bahwa “pulung gantung” telah benar-benar masuk didalam ruang kehidupan sehari-hari mereka. Alam mistis dan alam keseharian telah bercampur. Kepercayaan dan sisi riil yang hidup dimasyarakat tak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, kata-kata selamat terhadap Suradi benar-benar terucap ketika Suradi dapat bebas dari ajakan “dua orang” tersebut.


Segelas teh dari air hujan…
Sabtu, 2 Januari 2010 pukul 15.00 WIB kami tiba di Gunung Kidul. Salah satu informasi yang kami dapat dari Polsek Tepus tentang kejadian bunuh diri oleh Samijo seorang jejaka berusia 30 tahun yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di hutan sebelah rumahnya menggunakan seutas tali plastik hijau sepanjang 3 meter pada hari Selasa, 23 Juni 2009.

Tidaklah mudah untuk mencapai kediaman keluarga alm. Samijo, Desa Sidoharjo, Tepus. Seorang pegawai Puskesmas Pak Sutejo mengantar kami ke tempat tersebut.

Sebuah daerah yang jauh dari jalan besar, pelosok, jalan tanah beralas batu putih kurang lebih 2 km dari jalan besar, perkampungan yang sangat sederhana, rumah dengan dinding papan, sekeliling perkebunan yang lengang tampak beberapa hewan ternak dan keseluruhan bersuasanakan diam. Kami jumpa dengan adiknya Samijo yang bernama Painem usia 26 tahun tengah menggendong anak kecil. Raut mukanya menjadi kaku dan dingin ketika kami mengutarakan maksud kedatangan kami untuk mengetahui lebih dalam tentang kematian kakaknya “…nanti nunggu bapak aja dari sawah, sekarang saya kalo ingat itu masih nangis sedih….” itulah kata yang kami terima. Suatu penolakan dari dia untuk membicarakan kematian Samijo. Kami menunggu dengan beberapa orang di halaman tentangga. Tak ada satu kalimat pun yang membicarakan kejadian tersebut. Pengamatan kami beralih pada sekeliling, teras beralaskan tanah terletak sebuah lesung kayu panjang yang digunakan untuk menumbuk padi, jagung, serta gaplek. Tampak beberapa ayam lalu lalang, beberapa diam mengerami telurnya. Terlihat juga anjing yang lewat dengan menggigit batang jagung kering.

“…Ya, beginilah keadaan kami, tak ada apa-apa…” selalu diucapkan sebuah kalimat dengan kata-kata yang berisikan penolakan seakan hendak mengatakan juga bahwa tak layaklah mereka menjadi bahan pengamatan atau bahan keingin tahuan kami karena tak ada apapun di situ. Tersirat demikianlah yang hendak disampaikan oleh Painem. “Kalian berada diluar, saya berada di dalam dan kalian tak tahu apapun tentang kami” kesimpulan inilah yang kami dapatkan ketika menunggu.

Selang sekian waktu, kakaknya datang, bergegas, dengan membawa rumput dipanggul di atas kepalanya untuk makanan ternak yang dimiliki oleh keluarga. Tak lama kakak tertuanya datang, kami pun berinisiatif berdiri di depan pintu rumah. Kini Painem membukakan pintu rumah dan mempersilakan masuk. Sebuah ruang tamu yang sederhana, seperangkat meja kursi, di sudut tampak TV dan DVD player. Ruang tamu yang berdinding papan kayu dan beralaskan batu putih sederhana itu tampak lengang.

“…Biasa mawon boso Jowo, ngoko wae…ben iso cepet, mengko soale kula ajeng teng Wonosari kerja lembur. (biasa saja menggunakan bahasa Jawa ngoko, biar cepat karena saya akan segera pergi ke Wonosari untuk kerja lembur).” Dengan alasan akan segera kerja lembur di Wonosari Daerah Jeruk, tingkah Kris sebagai kakak tertua dari korban tampak “mempertahankan” keluarga ketika kami datang untuk mengetahui lebih lanjut tentang peristiwa Samijo.

“…Tidak ada satu masalah apapun diantara kami sekeluarga, Samijo hanya sakit gigi tiga hari dengan gusi yang bengkak. Sepertinya berlubang dan kami sudah mengantarkannya ke dokter...” penjelasan awal dari Kris. Tidak ada tanda apapun Samijo akan melakukan tindakan nekat. Tertangkap bahwa bukan masalah keluarga atau pun sakit gigi yang mengantar Samijo melakukan tindakan tersebut.

“..Yo mergo barang sing wigati kae. (ya, karena sesuatu yang tidak jelas wujudnya itu…)” ujar Pak Kris.

“Maksudnya pak? Apa ini ada hubungannya dengan pulung gantung?”

“Ya…”serentak mereka menjawab.

“Jadi kalian percaya dengan pulung gantung?”

Mereka empat bersaudara serempak mengatakan bahwa mereka mempercayai adanya pulung gantung.

Ditambahkan pula oleh Kris bahwa seminggu sebelum kejadian kurang lebih pukul 18.30 WIB, malam Jumat Legi dia bersama istrinya melihat dhadhung (tali tambang) yang merah serta hijau menyala mbendhol (bulat)…lebih tinggi dari pohon kelapa. Seperti ular yang bagian depannya bulat menyala… Mereka sangat percaya bahwa hal tsb yang mengakibatkan Samijo melakukan tindakan meniadakan diri tersebut.

“Sesuatu” mempengaruhi orang yang sedang kosong pikirannya. Disimpulkan oleh Kris bahwa Samijo melakukan tindakan bunuh diri “karena pengaruh dari dadung (tali tambang) yang merah serta hijau menyala mbendol (bulat)” yang diyakininya sebagai pulung gantung.

Aib, sakit gigi, tentunya tidak berhubungan dalam hal ini. Seperti halnya tidak ada hubungan antara gigi berlubang dengan kematiannya. Kesedihan dan sakitnya seseorang yang ditinggalkan oleh salah satu anggota keluarganya jelas tampak ketika kami mengunjungi mereka. Kelengangan suasana dan gurauan anak kecil tetangga dengan pohon-pohon hijau di sekitarnya meskipun tak memberi suasana hati yang damai. Keluarga bergegas sebagai ungkapan penolakan bagi orang yang hendak mencoba untuk membongkar peristiwa Samijo.

Pertahanan diri mereka dan merasa mereka adalah mereka tercetus ketika Sainem mempersilakan kami untuk meminum teh sajiannya “…Itu airnya dari air hujan…” ucap Sainem setelah seteguk kami meminumnya. Banyak makna di balik kata itu, mengungkapkan bahwa daerah mereka merupakan daerah yang sulit air atau kata yang bermakna: Minumlah, ini merupakan kepahitan kami.


Bunda … Oksigen Rohaniku
Ketika hujan mengguyur bumi dengan derasnya pada tanggal 26 Januari 2010 pukul 15.14 WIB kami mengunjungi rumah teman di daerah Semin. Ketika kami membicarakan pulung gantung, mereka tampak antusias dan berkenan mengantarkan kami kepada sebuah keluarga yang memiliki trauma besar dengan bunuh diri karena banyak anggota keluarganya yang meninggal dengan cara gantung diri. Kami pun bergegas ke desa Bolorejo, Semin untuk menelusuri berita tersebut dan keluarga Parmo yang kami temui.

“Pak…!!!” Sebuah teriakan dari Pram sang anak yang berusia 1,5 tahun tak pelak membuat ibunya yang sedang mencuci segera berlari kearah asal suara. Dengan tidak percaya, dia melihat suaminya telah pergi untuk selamanya. Dilihatnya Pram sedang memeluk kaki bapaknya yang telah bergantung layu. Seperti sebuah pagutan pelukan pada sebuah tiang, sebuah tokoh religius tidak dalam moment duduk memeluk (pieta) melainkan Sang Bunda di dalam kesedihannya memeluk tiang salib dimana jarak beberapa inci di atasnya kaki terpaku kuat. Tetapi dalam hal ini sang Pram bukanlah tokoh berskala besar itu, memeluk kaki bukan pada sebuah tiang, melainkan pada kaki yang berayun karena lehernya bergantung pada sebuah tali, sehingga menjadi garis titik hilang antara leher dan tubuh yang merupakan sebuah media bukti bangunan fana dan kaki berayun ini merupakan jejak terakhir dari keberadaan ayahnya yang masih dapat diraih oleh dekapan Pram. Bagi istri Parmo, mungkin kejadian bunuh diri ini sendiri tidaklah bertambah berat jika peristiwa ini tanpa diiringi seorang anak yang memeluk erat kaki berayun tersebut. Semua ini adalah kesedihan yang rangkap baginya. Kehilangan suami yang bergantung serta melihat kesedihan Pram memeluk jasad ayahnya. Hal ini merupakan batas antara religiositas (kembalinya ke yang di Atas) dengan kenyataan (kesedihan Pram); seperti suatu batas antara kaki yang tersalib di sebuah tiang dengan sebuah kenyataan kini yakni kaki yang bergantung karena bunuh diri. Pendar-pendar religiositas dari sebuah kematian menemui titik nyata berbentuk kesedihan. Peristiwa sebelum senja itu membekas untuk selamanya di kehidupan Pram.

Sebelum kejadian tersebut, Parmo adalah sosok petani yang rajin, selain bekerja diladang dia pun mencari pakan ternak di pekarangan dekat rumahnya. Menurut penduduk Bolorejo, Semin Gunung Kidul, tempatnya mencari pakan ternak adalah tempat yang wingit (angker) sehingga sangat memungkinkan kalau Parmo telah diganggu oleh makhluk gaib sesaat sebelum mengakhiri hidupnya dengan cara gantung gantung diri di dapur rumahnya. Dia bertumpu menggunakan kronjot (sejenis keranjang anyaman dari bambu yang biasanya digunakan masyarakat desa untuk membawa rumput ataupun hasil tani yang ditempatkan di belakang motor/sepeda) yang diletakkan di atas meja.

Ketika diruntut dari silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan ibu, Parmo adalah generasi keempat sekaligus orang ketiga yang melakukan gantung diri. Pertama adalah simbah buyut yang dua kali gagal dalam percobaan untuk mengakhiri hidupnya, yang kedua adik dari ibunya (paman dari Parmo) yang berhasil mengakhiri hidupnya, dan yang ketiga adalah Parmo sendiri.

Menurut penuturan Pak Tardi kakak tertua dari Parmo yang tinggal serumah dengan keluarga Parmo, adik keempatnya itu nekat mengakhiri hidupnya dikarenakan pikiran kacau oleh adanya isu berkembang di masyarakat sekitar yang mengatakan bahwa mantan istrinya hamil karena ulahnya. Padahal saat itu Parmo telah menata hidup dengan istri barunya yang memberinya seorang anak. Hal ini berbeda dengan penuturan istrinya: karena mencari rumput di tempat wingitlah sehingga ia diganggu penunggu daerah tersebut. Hal itulah penyebab tindakan nekat Parmo. Sedangkan masyarakat sekitar selalu mengaitkan dengan pulung gantung. Ada sebuah pertanda yang telah dirasakan oleh kakak ketiga Parmo yang sedang merantau di Jakarta, sebuah mimpi yang menunjukan adanya begitu banyak ular yang berkumpul di rumah Parmo dan itulah akhir hidup Parmo.

Sebuah luka yang dialami Pram sangat berpengaruh terhadap kejiwaannya karena di usia yang masih sangat muda ia menyaksikan dan mendekap kaki ayahnya yang tergantung. Sekarang usia Pram sudah 4 tahun dan kejadian tersebut sudah 2,5 tahun berlalu. Ketika kami berbincang dengan kakak serta istri Parmo, Pram mendampingi mereka, tepatnya dia duduk bergayut pada ibunya, selalu tak ingin lepas dalam dekapan. Terbayang oleh kami bagaimana sembari berteriak dia mendekap kaki ayahnya. Kini yang didekap Pram bukanlah kaki ayahnya pada saat mengalami ajal melainkan tubuh hangat ibunya dengan gerakan dadanya menggambarkan tarikan nafas yang hidup. Pergantian dekapan dari yang dingin kaku dan sedih ke dekapan hangat tubuh yang sekarang disertai sisa-sisa trauma pikiran yang lampau, kini semakin membuat Pram tak hendak lepas bergayut dari ibunya. Setiap tarikan nafas dari ibunya menjadikan Pram seolah-olah mendapat nafas baru untuk mengobati traumanya. Hal semacam ini bagi Pram merupakan suatu kebutuhan bagi nafas rohaninya. Ibu tidak hanya menjadi sebuah bumi tempat dia berpijak, ibu merupakan udara bagi paru-paru rohani traumatiknya. Ketergantungan oksigen tidak sekadar oksigen di udara melainkan setiap hela nafas ibunya merupakan oksigen rohaninya, dapat dikatakan bahwa kehidupannya didapat dari orang yang  mencintainya.


Sugiarjo
Tempat kejadian bunuh diri Sugiarjo, ditunjukan kepada kami oleh tetangganya. Tepatnya di sisi selatan rumah tinggal, sebuah kebun yang sedikit berundak, terdapat sebuah pohon mangga namun kini telah ditebang, dalam bayangan kami pohon itu tidak terlalu besar tetapi cukup kuat sebagai tempat menggantung tubuh Sugiarjo. Tetanda tempat menggantung tersebut, kini menjadi tempat penting bagi keluarga yang ditinggalkannya. Tapal batas berakhirnya Sugiarjo menjadi sebuah tempat yang sanggup membekukan memori kebahagiaan keluarga pada almarhum. Tapal batas ini membekukan segala kenangan tentang Sugiarjo dengan demikian kesedihan mereka sekeluarga tidak dapat mencair hilang. Bagi anggota keluarga, tapal batas tersebut akan selintas terlihat ketika berjalan kebelakang rumah, meskipun pohon mangga telah ditebang tetapi dari cara mereka menunjuk tempat tersebut, terbaca oleh kami bahwa memori anggota keluarga Sugiarjo tidak akan pupus dengan tertebangnya pohon itu.

Sugiarjo, kini berada di dalam kebekuan memori kesedihan keluarganya dan harta keluarga tersebut merupakan sebuah bentuk tapal batas, tetenger hilangnya hidup.

Seperti pada pagi hari biasanya, sekitar pukul 03.00 pagi, sang emak ke dapur untuk memasak, ketika hendak mengambil kayu bakar di sisi rumah terlihat sebentuk tubuh tergantung pada pohon mangga. Dia hafal benar dengan pemilik tubuh tersebut. Seketika dia berteriak histeris dan seketika itu pula hilang kesadarannya. Keluarga dan tetangga yang mendengar jeritan tersebut, segera berlari ke arah sumber suara. Waktu seakan menjadi diam. Sugiarjo yang mereka kenal cerdas, pandai bergaul dengan hobi bermain gitar dan bernyanyi dengan adiknya serta mempunyai semangat yang tinggi untuk bekerja kini telah meninggal bergantung di pohon mangga. Sebentuk siluet tubuhnya menjadi asesori tak lazim di pohon tersebut. Tetangga dan keluarganya tidak segera menurunkan tubuh Sugiarjo menunggu petugas dari kepolisian. Seisi keluarga, kerabat dan tetangga merasakan diamnya waktu semakin panjang, mereka dipaksa untuk melihat lebih cermat bagaimana Sugiarjo dengan wajah menunduk, dingin membatu, berayun dari dahan pohon. Seketika ada jarak yang jauh antara mereka dengan Sugiarjo. Dan mereka menyadarkan diri mereka bahwa tubuh yang bergantung itu milik Sugiarjo.    

Cuplikan percakapan kami dengan keluarganya:

“Ada firasat apa sebelum kejadian?”

“Tidak ada, biasa saja”

“Mungkin ada pesan atau dia pamit sebelum kejadian ?”

“Tidak ada pesan apapun, tidak ada kelainan. Bahkan berkelakuan seperti biasanya.”

“Atau mungkin ada masalah?”

“Tidak ada.”

Tapal batas di dalam kebudayaan Jawa merupakan suatu hal yang penting. Bahkan kitab kejawen yang banyak membahas tentang tata letak terdapat di kitab primbon; dan memberikan makna yang penting terhadap tata letak, posisi rumah ataupun tata letak ruangan yang antara lain berpengaruh terhadap rejeki atau malapetaka pemiliknya. Kerangka berpikir maupun aktifitas keseharian selalu mengacu kepada tertanda ilmu hitung menghitung berdasarkan ilmu jawa tersebut. Dalam hal ini diharapkan seseorang mendapat suatu keselamatan. Kini tetenger itu bukan merupakan tetenger yang bersifat abstraksi dalam wacana. Bagi keluarga Sugiarjo tetenger di sini menjadi tetenger yang nyata bagi suatu kehilangan satu anggota keluarganya. Dasar hitung menghitung berdasar primbon merupakan suatu hal yang rumit bila dibandingkan dengan pohon mangga tempat bergantungnya Sugiarjo. Pohon mangga telah hilang, kini suatu legalitas terhadap kekuatan suatu tetanda yang berada di dalam alam pikiran tidak lagi dikaitkan dengan tetanda yang riil (pohon mangga telah ditebang). Bagi keluarga Sugiarjo tetanda sebenarnya adalah pada simpul-simpul pikiran dan terbawa selamanya.

Ketidakadaan gejala serta tanpa alasan apapun bagi anggota keluarga bahwa Sugiarjo akan melakukan bunuh diri membuat tindakan tersebut tidak dapat dimengerti. Ketidakmengertian ini seperti halnya ketidakmengertian bagaimana hilangnya sebuah pohon mangga masih dapat menjadi suatu tetanda kesedihan yang hidup di alam pikiran mereka. Kesedihan yang hidup berdampingan dengan kehidupan keseharian mereka.


Tak Hilang Tetanda di Alam Pikiran
Tanggal 28 Juli 2010 kami menelusuri sisi barat dari Gunungkidul daerah dusun Ngobaran. Berbekal sebuah alamat yang kami dapatkan dari kepolisian tentang kasus bunuh diri yang belum lama ini terjadi.


Partodirjo
Sebuah bayangan fiktif di kepala ketika kami pertama kali mengetuk sebuah rumah papan sederhana dengan jalan setapak yang gelap. Bayangan fiktif tentang seseorang bernama Partodirjo, kami katakan demikian karena pada saat pintu rumah terbuka seketika kami melihat sekeluarga dalam ruangan sederhana gelap, berderet-deret lajur anak-anak berbaring di lantai dengan posisi yang sama tengkurap dan wajah relatif riang. Ibu dari anak-anak tersebut juga neneknya bersanding lekat dalam suasana kekeluargaan. Rasa duka yang sebelumnya terbayang oleh kami ternyata tidak kami jumpai, melainkan suasana tradisional komunal yang ada di depan kami saat itu, sedangkan bayangan almarhum Partodirjo yang merupakan kakek bagi keluarga tersebut tak kami dapatkan dalam bias-bias kedukaan di keluarga.

Bagi kami sebagai orang luar, Partodirjo adalah sebuah sosok dalam permasalahan kesedihan yang telah hilang. Dan kini ternyata telah menjadi tokoh fiktif yang hilang oleh suasana kehangatan pada keluarga tersebut.

Lintasan-lintasan ingatan kami sebelum menemukan alamat itu dan sewaktu bertanya kepada pemuda-pemuda di warung dengan jawabannya yang ringan “Oh, Parto yang meninggal karena bunuh diri itu” lalu disambung seorang pemuda yang membawa kami ke tempat keluarga Parto dengan perasaan yang biasa saja tanpa selintas pun menyinggung kejadian yang baru menimpa keluarga tersebut. Semuanya ini seakan menghantar kami ke dalam permasalahan yang kini tidak ada. Ada apa ini?

Tak mungkin sebuah kehilangan tak memberikan jejak kesedihan bagi mereka. Dengan kedekatan pada saat mereka berbaring bersama, bersinggungan badan satu sama lain diantara mereka, lajur-lajur berbaring mereka di lantai dan berhimpitan di sebuah ruangan yang relatif longgar seakan memberi gambaran kepada kami sebuah kesedihan akan terasa mudah jika dihadapi bersama. Sebuah gambaran keluarga tradisional yang berdasarkan suatu ikatan kekeluargaan yang erat, tampak nyata di keluarga ini.

Menurut Triyoga (1991: 5) struktur keseluruhan dari masyarakat, alam dan alam adikodrati tercipta dalam keadaan selaras atau harmonis. Selain dirinya sendiri, segala yang ada dalam struktur keselarasan kosmos dihayati sebagai hidup, berhayat dan berjiwa. Oleh sebab itu, manusia Jawa dalam kehidupannya harus selalu mengembangkan sikap rukun dan hormat terhadap dirinya sendiri, sesama manusia, alam dan alam adikodrati, demi terjaganya kesatuan dan keselarasan kosmos. Sikap rukun dan hormat ini diekspresikan dalam bentuk bahwa segala situasi hendaknya ia bersikap sedemikian rupa sehingga sesuai dengan posisinya, baik yang horisontal maupun vertikal, sehingga tidak menimbulkan konflik baik bagi batinnya sendiri, sesamanya, alam maupun alam adikodrati. (dalam Triyoga, Lucas Sasongko, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).

Kenyataan kejadian yang menimpa Parto bukan lagi menjadi pikulan bagi masing-masing anggota keluarga tersebut melainkan telah menjadi permasalahan bersama. Memori terhadap Parto adalah memori bersama sehingga kesedihannyapun adalah kesedihan yang dihadapi bersama. Dengan bersikap seperti ini seakan-akan mereka sanggup mengurainya menjadi ringan.

Dengan dasar berperilaku seperti ini dan mempunyai kepercaryaan bahwa setiap individu diharapkan untuk menjaga keharmonisan dan juga setiap individu menyandang muatan adikodrati seperti hal-nya dia menjaga bahwa keseluruhan alam mempunyai daya hidup, berhayat dan berjiwa demi menjaga kesatuan dan keselarasan bagi sesamanya.

Kami mengikuti irama keluarga itu, beramah tamah sebagai tamu bagi mereka. Setelah mengamati lebih lanjut ternyata Sumirah; istri Partodirjo merupakan bagian tersendiri dari kebersamaan kegembiraan keluarga itu, dia relatif tidak beringsut dari duduknya yang bersimpuh melekat kebumi, jemari tanganpun tidak bergerak dari lututnya, ujung jarinya tak sadar menunjuk tanah di depannya seakan dia ingin mengatakan bahwa bumi tempat yang diinjaknya itu merupakan alam kosmos yang selain dihormatinya tetapi juga telah mempunyai kekuasaan untuk merenggut suami dari sisinya. Posisi duduknya yang membatu mencerminkan suatu kepasrahan hidup. Dengan posisi duduk yang demikian untuk waktu yang lama, bisa dimengerti juga sebagai suatu posisi meditasi Buddha di dalam keseharian. Penghayatan suatu kesedihan yang bergerak dan larut dalam keseharian. Tak banyak kata-kata dari bibirnya. Wajahnya diam membatu, sekilas matanya berkaca-kaca. Dan perlahan kami ingin juga mengetahui cerita dan permasalahan di sekitar Partodirjo.

Partodirjo, sosok yang tidak beruntung di matanya. Sejak kecil telah akrab dengan kegelapan pada siang hari, kelainan pada matanya menyebabkan tidak dapat menikmati terangnya siang hari. Pendar-pendar matahari baginya malah menjadi siksaan yang menyebabkan menjadi gelap. Kegelapan yang lebih gelap bagi Parto adalah di siang hari. Baginya, siang tak ada. Yang ada hanyalah semangat ikut dalam aktivitas keseharian untuk berkebun. Tanpa mengeluh dia melakukan rutinitas tersebut walaupun pada 4-5 tahun terakhir fisiknya sudah tidak memungkinkan lagi karena penyakit liver yang dideritanya juga. Meski gelap bagi Parto tidak lagi menjadi gelap bagi dirinya, semangat menjalani keseharian: mencangkul, membersihkan rumput dan menanam pohon merupakan suatu hal yang ringan bagi Parto karena didasari oleh semangat dan ikatan kekeluargaan. Gelap menjadi terang karena ini semua dan Parto pun telah menjadi terbiasa dengan situasi ini. 5 tahun telah lewat dengan kemenangan hati si Parto.

Tetapi suatu pagi di hari rabu tanggal 14 Juli 2010, di dekat pantai di daerah Ngobaran telah menjadi saksi sebuah kekalahan dari upaya hidup seseorang. Leher Partodirjo terjerat pada seutas tali kecil yang diikatkan pada kayu atap sebuah gubuk tempat dia beristirahat ketika berladang. Saat menggantung, kaki Partodirjo masih menyentuh tanah seperti layaknya posisi yang beringsut, jongkok tidak berdiri pun tidak, hal ini membuat masih ada cukup ruang di tenggorokannya untuk bernafas, posisi tubuh yang sama sekali tidak bergantung, sangat berbeda dengan bayangan kami tentang gantung diri pada umumnya. Kejadian ini kembali kami jumpai di Gunung Kidul bahwa suatu posisi dengan tak lazimnya orang gantung diri telah mengakibatkan hilangnya nyawa Partodirjo. Tarikan tali di leher dan “jejakan kaki” di tanah sepertinya adalah dua kutub antara tarikan mati dan hidup, batas tipis mati dan hidup terbaca di posisi ini. Bila sang kaki lebih kuat menjejakan ke bumi, leher akan mendapat ruang untuk bernapas sedangkan leher akan berayun pada jeratan tali bila mana memang kaki dibiarkan lunglai tak menapak tanah. Ini membutuhkan suatu pilihan atau kehendak yang besar untuk mengabaikan garis keselamatan dengan membiarkan leher terjerat. Pada titik hidup terakhir pun kehendak mati tidak menjadikan suatu penyesalan dan entah tenaga atau dorongan apa sehingga bertekad menentukan pilihannya.

“Kalau dimengerti secara logika cara bunuh dirinya Partodirjo tidak masuk akal, tidak mengakibatkan kematian. Karena posisi menggantungnya dengan kaki yang menyentuh tanah dan tidak bergantung masih bisa bernafas lega tetapi inilah yang dinamakan takdir, mungkin takdir kakak saya harus berakhir seperti ini, dengan posisi demikian bisa mengakibatkannya meninggal dunia.” demikian kata adik Partodirjo mengomentari kematian kakaknya.

Tentang keanehan posisi gantung diri ini bagi mereka ada penyebabnya, seperti yang dia katakan: “Jadi pada kejadian seperti ini bola apilah penyebabnya dan pasti ada yang melihatnya dan kalau tidak ada bola api tersebut tidak akan terjadi bunuh diri ini. Itupun akan berakibat pada orang yang sedang kosong pikirannya. Ini mitos yang benar-benar terjadi.”


Jiwa yang Diletakkan pada Tanda Cinta
Seorang anak perempuan yang duduk dikelas 4 SD berusia sekitar 10 tahun, tinggal di daerah Playen ditemukan oleh pamannya menggantung diri di kamarnya. Seutas sabuk kecil melilit di lehernya, berkait dengan pinggiran ranjang besinya. Pinggiran ranjang yang berhias bentuk hati dan berwarna hijau pupus merupakan tempat “menaruh” nyawanya. Seakan suatu kesejukan hijau dan gambaran berbentuk hati menjadi suatu keinginan yang diharapkan bagi si anak. Angan-angan yang tidak didapatkan sehingga dia menaruh kecewa pada sekelilingnya. Seringkali bagi masyarakat mengetahui kejadian besar semacam ini dilakukan atas dasar suatu alasan yang teramat sederhan. Di samping itu, masyarakat sekitar juga kerap mengaitkannya dengan pulung gantung. Versi yang berbeda akan memberikan suatu alasan yang berbeda pula atas suatu kejadian.

Suatu hari, ia tidak bersekolah dikarenakan satu-satunya seragam yang hendak dipakai masih basah. Di benaknya, tentu alasan ini tidak dapat diterima oleh pembina di sekolahnya dan pastinya akan mendapatkan teguran. Tak ayal, kekalutan terhadap sekeliling merupakan suatu ancaman dari pikirannya sendiri. Maka, diam-diam dicarilah sebuah tempat yang aman untuk menaruh hati kanaknya itu.

Seragam basah bukanlah merupakan suatu pembenaran untuk alasan tindakan fatal tersebut. Perihal sederhana tentang seragam merupakan suatu bentuk kerapuhan dan kekhawatiran terhadap sekeliling, serta bagaimana penerimaan terhadap dirinya. Satu hari absen bersekolah dan kekesalan terhadap sepotong seragam basahnya menjadikannya kesal sekaligus sedih berkepanjangan. Baginya dan di mata teman-temannya, tak ada alasan untuk tak bersekolah serta; tak ada alasan seragam dapat menjadi basah.

Kakinya masih dapat dijejakan pada kasur tempat tidur, sehingga tak terlalu menggantung posisi tubuhnya, tetapi kemauan serta tekad untuk meniadakan dirinya itu membuat topangan yang seharuasnya masih dapat dilakukan agar tetap bernafas, walau di leher telah terjerat sepotong sabuk tetap dia memilih untuk menggantungkan tubuhnya pada jeratan dileher. Pilihan telah diambil antara jejakan kaki di kasur yang dapat membuat dia tetap bernafas atau tarikan sabuk di leher. Tetapi si anak telah mengambil keputusan terakhir dengan mengabaikan jejakan kaki di kasur ranjangnya. Keputusan ini adalah pilihan, mengambil kesakitan daripada kenyamanan empuknya kasur (hidup).


Kamu
Telah banyak lepas tahun yang kau lalui, pergulatanmu dengan alam dengan rasa kuat tubuhmu yang hendak membentuk tanah dan tegal agar dapat tumbuh tunas daun hijau. Kau demikian kuat untuk dapat mengolah ini semua, cangkulan tajam dan jejakan jari kakimu mengakar dan menapak seakan cakar yang dalam dan tak bergeming meski sering kakimu luka oleh batu putih tajam.

Lalu, semua ini seakan tak berarti lagi oleh kau, kekuatanmu telah diuji oleh rasa gatal di kemaluanmu, bertahun dengan jam demi jam rasa gatal itu demikian mengganggumu, berakibat  hanya berkeinginan untuk menggaruk dan menggaruk hingga membuat rasa menebal panas di sekeliling kemaluanmu itu. Terkadang jari kasar dan kukumu yang menghitam itu menggaruk kuat dan semakin kau garuk semakin dalam rasa gatal panas menggigit kedalam kulit sekitar kemaluanmu itu. Kau tenggok kemaluanmu sendiri “ada apakah didalam kulitku ini? Adakah serangga-serangga berumah menggumpal merayap dan menyebar di bawah kulitku ini?” Lalu, kau kembali menggaruknya hingga lecet-lecet, hal ini membuatmu puas tetapi sekaligus juga rasa gatalnya bertambah hingga kulitmu memanas tebal, gerakan tanganmu semakin kencang seakan hendak menyayat dan menyobek permukaan kulitmu itu tetapi semakin panas serta bertambah rasa gatal yang kau dapatkan.

Pengobatan tak berhasil, tak mungkin memenggal bagian gatal ini saja, rasa frustasi semakin membuat tegang dan berakibat kambuhnya gatal setiap waktu, rasanya hendak dikoyak. Akhirnya, 2007 kau memutuskan meniadakan dirimu di beranda rumah dan tidak sekedar memenggal area kemaluanmu saja. Sekali dan dua kali upaya bunuh dirimu terselamatkan keluarga, dan ketiga kalinya berhasil. Selesailah gatalmu dan selesailah hidupmu.


Sampai pada Sebuah Pemahaman
Demikian rangkaian kunjungan kami ke Gunung Kidul sebuah tempat yang tak berjarak jauh dari Jogja tetapi mepunyai atmosfer yang berbeda. Satu perbedaan yang paling menarik bagi kami setelah beberapa kali menelusuri daerah di Gunung Kidul ternyata rata-rata dari keluarga yang berkaitan dengan bunuh diri di Gunung Kidul mempercayai bahwa pulung gantung mempunyai peran yang besar. Pengetahuan mereka terhadap pulung gantung telah menjadi suatu pengetahuan sehari-hari. Populasi bunuh diri yang signifikan baik karena permasalahan yang sepele maupun tanpa permasalahan telah dianggap menjadi suatu hal yang lumrah bagi masyarakat di sana.

Memang pada umumnya kematian karena bunuh diri tidak memberi suatu tetanda apapun sebelumnya tetapi biasanya setelah kejadian baik keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya dapat mengetahui alasan dibalik tindakan tersebut. Sedangkan di Gunung Kidul kejadiannya berbeda. Keluarga yang ditinggalkannya kebanyakan tidak menangkap suatu alasan apapun. Pilihan yang diambil menyisakan suatu misteri tetapi faktanya pulung gantung bagi mereka selalu berada di dalam lingkaran permasalah ini.

Sisa-sisa tentang  keberadaan seseorang dan kekosongan bagi yang ditinggalkannya merupakan satu hal yang tidaklah ringan bagi kami ketika harus mengungkap kejadian tersebut. Kami tangkap, bagi mereka tidak cukup sekedar suatu keiklasan ataupun ketabahan saja karena kepergian dengan cara bunuh diri juga menyisakan suatu hal yang tak kalah beratnya, menjadi pernyataan dan memori yang panjang dari masyarakat sekitar. Kata-kata ”Oh, bapak anu yang meninggal karena bunuh diri itu” telah menjadi suatu tetanda terhadap kematian seseorang, sekaligus menjadi tetanda pula bagi keluarganya, meski permakluman ataupun bala telah dicoba untuk dihilangkan dengan penguburan tanpa prosesi yang layak serta tempat-tempat yang digunakan meniadakan diri juga telah dihilangkan tetapi anak keturunan selanjutnya tetap akan memikul beban tetanda.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS