Postingan saya kali ini
akan membahas tentang misteri lokal. Karena saya berdomisili di daerah
Yogyakarta maka saya mengangkat sebuah urban legend dari daerah wonosari.
Namanya “Pulung Gantung”.
Ulasan ini saya kutip dari
sumber http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=152 dan
http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=153 Dibagi menjadi dua bagian namun disini saya
jadikan satu.
Berikut ini adalah tulisan
Ivan Sagita (seorang seniman pelukis yang berdomisili di Yogyakarta) Ini adalah
tulisan perupa Ivan Sagita yang dimuat dalam katalog pameran tunggalnya di Den
Haag, Belanda, 27 Agustus hingga 18 September 2011. Catatan ini juga bisa
menjadi contoh menarik ketika seorang Ivan Sagita sebagai perupa tidak sekadar
menghasilkan lukisan, namun juga tulisan, seusai turun ke lapangan. Selamat
membaca.
I
Gunung Kidul yang meliputi
pegunungan Seribu di sebelah selatan, cekungan Wonosari di tengah dan
pegunungan batu Agung di sebelah utara merupakan wilayah yang terletak di
selatan kota Yogyakarta, suatu wilayah yang didominasi oleh pegunungan kapur
(karst), dengan tanah yang terjal berbatu-batu. Dengan karakter tanah yang
demikian maka cocok tanam masyarakat sangat tergantung pada daur iklim
khususnya curah hujan, sehingga sebagian besar adalah sawah tadah hujan dan merupakan
tanah yang kering serta akan kesulitan air pada musim kemarau.
Ada beberapa peristiwa
penting di daerah Gunungkidul yang selalu dikaitkan dengan fenomena mistik.
Salah satunya adalah kasus bunuh diri. Masyarakatnya mengenal dengan apa yang
disebut "pulung gantung". Secara sederhana dapat kita gambarkan
fenomena tersebut; pulung gantung sebagai bola api dengan ekor panjang yang
berkelebat datang dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu tetapi
sering juga hinggap di atap rumah, di atas pohon atau terbang diam di
ketinggian tertentu dalam waktu relatif lama.
“Bentuknya seperti lintang
tapi besar, bundar tapi bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah,
kemerah-merahan ya ini terus belakangnya seperti ular panjang lha ini bisa
hinggap di pohon-pohon besar, rumah juga bisa”, wawancara dengan narasumber.”
Menurut beberapa orang
yang pernah menjumpainya, hadirnya pulung gantung berkisar sehabis Maghrib
pukul 18.00-20.00) atau menjelang subuh (02.00-04.00).
Masalah bunuh diri di
Gunungkidul tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Kejadian demi kejadian
yang berurutan telah terjadi sejak sekian puluh tahun yang lampau. Setiap kali
terjadi, masyarakat sekitar membicarakannya, terkadang dengan serius,
seringkali juga dengan entengnya, sepertinya kejadian tersebut merupakan suatu
peristiwa yang lumrah saja terjadi.
“Oh, bapak… yang meninggal
hari jumat karena bunuh diri itu? “Penyebabnya apa, pak?”, “Oh, ya tidak tahu,”
jawabnya dengan ringan, dialog sewaktu penulis menanyakan alamat kediaman pelaku
bunuh diri yang baru terjadi sehari sebelumnya. Hal semacam ini menunjukkan
pada kita bahwa kejadian bunuh diri merupakan suatu hal yang sering kali
terjadi sehingga bisa menjadi suatu permasalahan yang serius dan tidak serius
bagi mereka.
”Bunuh diri selalu
bermuatan misteri, khususnya bila dikaitkan dengan fenomena alam atau mitos
masyarakat setempat. Banyak pertanyaan untuk itu. Apa kaitanya pulung gantung
dengan kasus bunuh diri? Tetapi masyarakat di Gunungkidul selalu mengkaitkan
keduanya, antara kejadian bunuh diri dengan hadirnya pulung gantung”. Setiap
ada peristiwa bunuh diri masyarakat setempat selalu menceritakan juga datangnya
pulung gantung dan menurut penuturan beberapa orang yang melihat peristiwa
tersebut, bahwa rumah yang dihuni pelaku bunuh diri telah didatangi oleh pulung
gantung.
Orang-orang di Gunungkidul
menyebutnya sebagai “pulung gantung”. Pijar bola api yang bergentayangan di
tengah malam itu dipercaya sebagai isyarat kematian yang hampir mendekati
kepastian. Semacam sasmita (pertanda) yang nyaris menjadipepasten (kepastian),
dalam istilah orang Jawa.
Dalam kosa kata kebudayaan
Jawa, Istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu”. Dengan definisi,
“pulung” atau “wahyu” di sini berarti “isyarat bahwa Tuhan atau (kadang) leluhur
memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”.
Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”.
Dalam pemahaman umum orang
Jawa, “pulung” juga dianggap sinonim dengan segala hal yang berbau kemuliaan,
kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Jika seseorang dengan cara yang mudah
tiba-tiba mendapatkan sesuatu hal yang baik dan membahagiakan, orang Jawa
biasanya berujar: “Ketiban pulung” (kejatuhan berkah).
Tetapi akan berbeda
maknanya jika di belakang kata “pulung” itu disematkan kata “gantung”, menjadi
“pulung gantung”. Tak seorangpun di Gunungkidul yang akan bersyukur bila
rumahnya “ketiban pulung gantung”. Karena hal tersebut mengakibatkan suatu yang
serius. “pulung gantung” dianggap sebagai isyarat kematian.” Suatu cerita, beberapa nara sumber mengatakan
bahwa sebelum seseorang melakukan tindakan bunuh diri, dia akan terobsesi
melakukan tindakan yang dia sukai, terkadang juga dia akan terobsesi pada suatu
tempat dimana dia akan melakukan tindakan tersebut. Bahkan dari narasumber yang
keluarganya berhasil selamat menceritakan bagaimana ada seorang tua mengajaknya
ke suatu tempat.
Kepercayaan semacam ini
masih bertahan dengan kuat pada banyak wilayah di Gunungkidul, terutama di
pelosok-pelosok desa yang terpencil. Mereka percaya bahwa salah seorang anggota
keluarga yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung
tersebut akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri (beberapa kasus
kadang dengan menceburkan diri ke sumur/luweng).
Suatu kejadian yang
dipercaya bahwa hal ini tak dapat dicegah. Dimaknai sebagai Pepasten
(kepastian). Tetapi meskipun demikian, bala masih dicoba untuk ditolak,
masyarakat membunyikan titir (memukul kenthongan), mengadakan pengajian sembari
berjaga siang dan malam. Bala dapat ditolak, tetapi pulung gantung akan memakan
korban di daerah yang lain.
Orang-orang percaya bahwa
arah hadap pelaku gantung diri juga menjadi isyarat kematian berikutnya: pada
arah yang dihadap oleh pelaku gantung diri di situlah kelak pulung gantung akan
turun. Misalnya, jika seorang korban gantung diri ditemukan menghadap ke arah
utara, maka pada arah itu pulung gantung dipercaya akan jatuh kelak di kemudian
hari.
II
Bunuh diri merupakan
fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain psikologis,
biologis, sosial budaya. Sejak jaman purba, manusia telah mengenal suatu upaya
untuk meniadakan dirinya sendiri (bunuh diri). Pengertian meniadakan dirinya
dalam hubungannya dengan alasan melakukan tindakan tersebut adalah suatu
kesadaran dari interpretasi bahwa tindakan tersebut “hendak membunuh orang lain
yang berada di dalam dirinya sendiri.” Maksudnya, terpikirkan oleh kesadarannya
bahwa jiwa di dalamnya merupakan pihak lain yang tidak berhubungan dengan
dirinya. Alhasil, terpikirkan bahwa tindakan bunuh diri tersebut tidak
berkaitan dengan tubuhnya sendiri (ada jarak antara kesadaran dengan tubuhnya
sehingga pelaku bunuh diri menganggap setelah fisiknya meninggal, dirinya masih
tetap ada).
Upaya itu dilakukan dengan
berbagai alasan. Kita mengenal suatu ketidakberdayaan dari seseorang sehingga
dia melakukan tindakan tersebut. Dalam konteks ketidak berdayaan ini, seseorang
melakukan tindakan terhadap dirinya karena hanya mempunyai keleluasaan terhadap
dirinya sendiri meskipun perusakan terhadap diri sendiri ini dimaksudkan kepada
orang lain.
Tinjauan yang lain, suatu
teks sering mengatakan bahwa suatu absurditas dan ketakpahaman realitas
hanyalah dapat diselesaikan dengan bunuh diri karena kematian merupakan akhir
dari persoalan diri sendiri. Hal ini merupakan persoalan yang benar-benar
serius bagi tinjauan filsafat juga. Kesadaran terhadap absurditas dan
penyelesaiannya adalah suatu tinjauan kesadaran bahwa penyelesaian absurditas
adalah penghancuran hidup. Tinjauan teks tersebut menjadi sekedar wacana saja
bila kita mencoba memahami persoalan di Gunung Kidul (pulung gantung). Antara
harmonisasi alam, keperkasaan alam terhadap manusia, jalinan anyam menganyam
mitologi dan persoalan hidup tidak sekadar dapat dilihat dari tinjauan teks
tentang “kesadaran absurditas dan penyelesaiannya.”
Baiklah, jika kita mencoba
melihat dari pengertian manusia yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang
merupakan suatu eksistensi dari sebuah keputusan, maka bila ditarik secara
panjang tentu dapat merujuk pada eksistensialisme. Tetapi, kaitannya dengan
permasalahan ini adakah suatu yang rasional dapat sebagai penemuan
esensi-esensi permasalahan?
III
Suatu anomali dari
tindakan manusia yakni bunuh diri. Sedangkan bunuh diri itu sendiri sudah
merupakan anomali terhadap suatu kehidupan.
Sederet kasus yang menjadi
ingatan kita bersama diawali Yudas yang meniadakan dirinya karena perasaan
bersalah. Kemudian, kejadian demi kejadian terjadi, seiring dengan adanya
manusia di bumi ini. Hubungannya dengan kedirian seseorang dan penghilangan
diri ini, adakah tindakan yang lebih berani sekaliguspaling tidak bermakna bila
seseorang melakukan tindakan tersebut.
Ternyata suatu sudut
pandang dari teks saja akan mengeringkan permasalahan. Fenomena alam, keluarga
terdekat dari pelaku, korban yang selamat dan tentu mitologi setempat merupakan
suatu kajian pengalaman dan pengamatan untuk memahami persoalan ini. Apakah
kesenian dapat menjadi jembatan? Karena hanya sisi pengalaman dan pengamatan
yang notabene merupakan satu hal yang dipentingkan dalam berkarya seni.
Walaupun, ekstremnya untuk memahami pengalaman tersebut adalah melakukan
tindakan yang sama pula.
Seperti telah disebutkan
bahwa mengenal masyarakat Gunungkidul tidak dapat lepas dari mitos pulung
gantung. Pemahaman tentang mitos pulung gantung adalah pemikiran dari bayangan
purba dan akan menjadi riil bila terwujud dalam keseharian dan pemikiran sosial
masyarakat setempat. Permasalahannya adalah bagaimana suatu bayangan purba
dapat menjadi dasar tindakan bunuh diri? Atau dengan kata lain, apakah
pemikiran tentang pulung gantung dihidupi oleh masyarakat itu sendiri? Dan
berakibat menjadi suatu tindakan yang konkrit? Sehingga kejadian-kejadian yang
berulang tersebut menjadi salah satu ciri pada budaya setempat yakni: pulung
gantung.
Maksudnya, menjadi menarik
bahwa suatu tindakan bunuh diri beranyam dengan mitologi. Mitologi merupakan
akumulasi gambaran-gambaran yang paralel dengan kehidupan manusia; akumulasi
yang bertumbuh dalam ketidaksadaran dan didalamnya aspek-aspek tertentu dari
eksistensi manusia mendapatkan ungkapan secara simbolis (pulung gantung).
Hal ini sejalan dengan
suatu pemikiran yang telah dikemukakan oleh Carl Gustav Jung tentang
pengembangan dari suatu teori Sigmund freud tentang alam tak sadar kolektif dan
isi psikisnya. Mitos “bawah sadar kolektif” tersebut dinamai arketipe, bilamana
kita tarik garis lurus dengan mitos pulung gantung di Gunung Kidul maka akan
menjadi jelas buat kita bahwa suatu mitologi dapat berpengaruh secara nyata di
dalam keseharian masyarakat setempat.
Pengertian arketipe
berasal dari hasil penyelidikan yang berulang-ulang. Misalnya cerita mite dan
dongeng-dongeng dari dunia sastra mengandung pola-pola dasar tertentu, yang
muncul dimana-mana. Kita menemukan pola-pola dasar yang sana ini dengan
fantasi-fantasi, mimpi-mimpi, igauan-igauan, dan khayalan-khayalan dari
individu yang hidup hari ini. Bayangan-bayangan dan asosiasi-asosiasi yang khas
inilah yang disebut oleh Carl Gustav Jung sebagai gagasan-gagasan arketipis.
Semakin hidup gagasan-gagasan arketipis ini, semakin mereka diwarnai khusus
oleh nada dasar perasaan yang kuat. Mereka meninggalkan kesan, mempengaruhi dan
menarik perhatian kita. Gagasan-gagasan arketipis ini berasal dari arketipe,
yang dari dirinya sendiri merupakan suatu bentuk yang tak kelihatan, tak sadar,
praeksisten. Bentuk ini merupakan bagian dari struktur warisan milik psike dan
ia bisa mengungkapkan diri secara spontan dimana saja dan kapan saja. Karena
kodrat nalurinya, arketipe memberi otonomi kepada kompleks itu.
Permasalahan tentang
manusia khususnya yang berhubungan dengan kelahiran dan kematian merupakan tema
yang penting untuk menjadi dasar suatu karya.
Manusia menjadi bermakna
bilamana ditinjau dari perbuatannya. Manusia dinilai dari hubungannya terhadap
alam, tetapi bila seseorang menolak alam bahkan jika alam dinilai sebagai suatu
ancaman dapat kita artikan bahwa manusia tersebut juga meniadakan dirinya
sendiri. Hubungan dengan pulung gantung dan masyarakat Gunungkidul adalah
bagaimana seseorang yang mencoba harmoni dengan alam sekaligus dia menerima
mitos-mitos yang notabene berkaitan juga dengan meniadakan diri dengan fenomena alam yang konkrit.
Jadi apakah ada fenomena
alam yang selama ini diyakini sebagai bentuk yang harmonis dengan manusia dapat
bertujuan menggerakkan manusia untuk merusak dirinya?
Pertanyaan, bagaimana
seseorang yang mengadakan permenungan tentang diri dan dunianya; kegelisahan
dari dunia meta—dunia di balik ini—, keinginan meraih suatu kenyataan yang
lebih, dan hubungannya dengan permasalahan konkret yang telah menjadi
keseharian di Gunungkidul itu dapatkah sebagai jawaban tentang persoalan pulung
gantung (khususnya bagi mereka yang tinggal di sana).
Penafsiran cakrawala
eksistensi oleh masyarakat setempat ditambah keinginan tahu tentang semuanya
sekaligus ketidaktahuan apapun tentang kenyataan—selain ingin meraih kenyataan
di balik kenyataan. Pertanyaan mereka, adakah suatu dunia yang tersembunyi di
balik dunia yang nyata ini.
Kebiasaan kita hanya
hendak mengungkapkan apa-apa yang nyata saja dan selalu untuk apa, serta tujuan
menjadi kata akhir.
Ternyata dunia yang
menjadi tempat untuk manusia berada ini menunjukan juga bahwa “ada” sesuatu di
atas dunia itu sendiri. Alam dan dunia yang demikian netral terhadap manusia,
ternyata juga penuh dinamika yang mengisyaratkan pada manusia untuk menentukan
sikap dan arah hidupnya.
PERISTIWA
DAN NARASUMBER
Adalah salah seorang
narasumber kami; Wage Daksinarga, 32, seorang pekerja teater, penulis dan
sekarang juga mengemudi truk pengangkutan pasir. Ia tinggal dan lahir di desa
Paliyan, Gunungkidul, dan selama 2 tahun (2001-2003) meneliti kasus bunuh diri
(pulung gantung) di sana untuk bukunya dengan judul: Talipati.
Pendapat Wage mengenai
pemikiran ataupun pandangan masyarakat Gunungkidul tentang pulung gantung
adalah bahwa fenomena ini merupakan suatu bentuk pemahaman masyarakat yang
dilandasi unsur-unsur bawah sadarnya.
“Ketika mereka ditanya
tentang pulung gantung mungkin yang tercetus merupakan imajinasinya. Bisa jadi bukan suatu pengalaman nyata yang
dialaminya karena batasan antara sadar dan bawah sadarnya tipis, sudah sekian
ribu tahun masyarakat Jawa dikungkung oleh yang namanya mitos dan terus
membentuk aksi dalam otak mereka.”
Hubungannya dengan pulung
gantung, kembali pada tgl 13-12-2009 kami lebih lanjut membahas bersama:
Ivan Sagita: “Dalam suatu
kejadian bunuh diri di Gunungkidul, apakah masyarakat selalu mengkaitkan
kejadian tersebut dengan pulung gantung atau mereka melihat kejadian ini
sebagai bunuh diri biasa saja seperti kejadian yang banyak terjadi di kota-kota
besar, sebagian karena alasan-alasan ekonomi, konflik rumah tangga atau
kekerasan dan lain sebagainya?” (Kompas,13/12/2009)
Wage: “Sebagian besar
masyarakat Gunungkidul bila mana mereka tidak berbohong, dalam hati mereka akan mengkaitkannya dengan pulung
gantung karena pada prins ini tidak ada
dalam masyarakat Jawa.”
Mitos telah menjadi suatu
hal yang konkrit; suatu cerita yang selalu dihidupkan oleh masyarakat itu
sendiri. Akhirnya, cerita danlegenda bertumpuk dengan kejadian nyata dan
berbaur dengan imajinasi masyarakat setempat.
Ditambahkan pula oleh Wage
“Setelah kejadian, biasanya saya tidak langsung ke korban tetapi saya ke warung, tambal ban, tukang bensin dan dalam
pembicaraan mereka misalnya ada
sekelompok 4 orang minimal 3 orangmengkaitkan kejadian tersebut dengan
pulung gantung.”
Inilah suatu pernyataan
yang merujuk bahwa ketidaksadaran kolektif telah menghidupi dan dihidupi oleh
mereka sendiri.
Lepas
dari satu mati tertampung di mati yang lain…..
Untuk ke dua kalinya kami
berkunjung di kediaman Sarno. Seperti pada umumnya, rumah yang sangat sederhana
dengan dinding bambu beralaskan tanah, sederet genting tipis yang tampak ringkih.
Rumah yang tak teraliri listrik, seonggok teplok (lampu minyak tanah)
tergantung dari langit-langit. Di dalam rumah, sebuah dipan kayu dan sebuah
meja yang mengisi rumah tersebut. Tampak disudut, dibatasi selembar
triplek, Sarno seorang korban yang
selamat dari usahanya bunuh diri, kini telah terbaring
lumpuh selama 8 tahun. Hanya tubuh bagian atas yang masih bisa digerakkan dan
sekian lama dia tidak pernah turun dari tempat tidur. Dalam keseharian ia
melihat orang-orang hanya dengan tatapan mata nanar, marah dan tak berbicara
apapun. Sang istri yang menemani dan merawatnya meski tak jarang tamparan,
erangan marah yang didapat.
Sarno, seorang yang
selamat dari suatu usaha untuk kematian dirinya kini mengalami bentuk kematian
yang berbeda; selamat dari kematian yang satu dijemput oleh kematian yang lain.
Satu ketidaksadaran keseharian dengan tak tahu lagi antara sakit ataupun
bahagia, berada dalam suatu titik nol. Adakah makhluk yang lain yang seperti
Sarno ini yang selalu dilekati oleh suatu kematian. Usaha untuk membebaskan
dirinya dari permasalahan dengan menjatuhkan dirinya ke dalam sebuah lubang
(luweng) sedalam 12 meter tak berhasil. Tertolong oleh tim SAR meskipun dengan
tulang punggung yang patah sehingga kelumpuhan menyertainya.
Seiring dengan kejadian
tersebut, ketika terangkat dari lubang dia masih bisa berbicara dengan lemah,
dikatakan bahwa seorang tua berbaju putih menuntunnya untuk terjun ke dalam
lubang itu. Tetapi, alasan Sarno melakukan tindakan tersebut simpang-siur.
Beberapa orang mengaitkannya karena stres alasan ekonomi tetapi sebagian orang
mengaitkannya dengan orang tua berbaju putih sebagai pengejawantahan dari
pulung gantung dalam bentuk yang lain.
Terangkat dari lobang yang
dalam, seketika yang keluar dari mulutnya adalah bahwa tindakan tersebut karena
ajakan dari “orang tua berbaju putih”. Alasan tersebut merupakan penyangkalan
ataupun pembenaran suatu tindakan, bahwa tindakan ini bukanlah tanggung jawab dirinya. Hal ini merupakan suatu sisi
mistik, kaitannya dengan hal yang transenden. Ataupun suatu mitos pulung
gantung telah dapat sebagai suatu alasan bagi sebuah tindakan nyata. Kondisi
Sarno saat ini, telah menjadi saksi hidup untuk masyarakat sekelilingnya. Dia
merupakan salah satu mata rantai korban atas kekuasaan kosmos terhadap dirinya.
Dan hal ini disetujui oleh kepala dusun bapak Widodo yang mengakui bahwa
kejadian yang menimpa Sarno akibat dari pulung gantung, ditambahkan pula oleh
tetangganya yang lain bahwa pulung gantung akan menghinggapi pada orang yang
miskin dan yang sedang kosong pikirannya.
Sekian lama organ tubuh
bagian bawahnya yang tidak digunakan kini mengecil, tampak lunglai tak memijak
ke bumi. Sebelumnya, tapak kakinya yang mengipas lebar dan kekar menapak ke
bumi ketika mencangkul sambil ia mengendus lahap harum tanah ketika air hujan
jatuh. Harapan benih yang ditanam dapat tumbuh dan berakhir serta memenuhi
perutnya yang kosong. Tetapi bumi yang dicintai, dihidupi dan menghidupinya
telah menjadi sebuah tempat menerima
bentuk kematiannya yang lain. Manusia ini akhirnya menerima suatu tawaran alam.
Struktur modern tak menjamah pikirannya melainkan “seorang tua berbaju putih“
yang merupakan suatu bentuk simbol kosmos (pulung gantung) menjadikan kata
akhir yang ada di benaknya dan membawanya memasuki fase kematian yang kini.
Keluarga
dan kesukaan telah kau tinggalkan…..
Suatu kejadian pada hari
Jumat, 2 Oktober 2009 di sebuah gubuk petani di pantai Ngetun, ditemukan
seorang laki-laki bernama Kaser (bukan nama sebenarnya), 55, warga Tepus yang
mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Kejadian ini mengantar kami keesokan harinya
untuk mengetahui lebih lanjut tentang permasalahan pulung gantung, sebuah
hubungan fenomena alam dengan manusia. Ini merupakan kali kesekian kami secara
langsung datang ke daerah Gunung Kidul. Wilayah Tepus merupakan ujung tenggara
kawasan Gunung Kidul yang dekat dengan Wonogiri. Melewati bukit kapur serta
hutan jati yang tandus, tidaklah mudah mencari kediaman pelaku bunuh diri
tersebut. Halaman tanah kemerahan dengan dikeraskan batu karang putih, rumah
limasan yang tampak muram berdinding papan berlantaikan potongan batu putih
sederhana bersuasana mengiringi kesedihan yang terpancar dari wajah istri serta
anaknya.
Penuturan mereka, Kaser
pamit untuk pergi memancing ke pantai sebelum ditemukan gantung diri. Tidak ada
tanda-tanda hendak bunuh diri ataupun menunjukkan hal-hal yang aneh saat itu,
serta tidak ada permasalahan dengan pihak manapun semasa hidupnya sehingga
pamit memancing yang merupakan hobinya tidak menjadi kecurigaan bagi keluarga
yang ditinggalkan. Kaser sering membawa hasil pancingan baik ikan besar maupun
kecil untuk lauk keluarganya.
Suwung,…
Kemarin, tanggal 21
Desember 2009 kembali kami datang ke Desa Sureng, Purwodadi, Kecamatan Tepus.
Pembicaraan kami dengan Ipha ketika menyinggung tentang almarhum ayahnya, tampak
tatapan mata kosongnya dengan sedikit getaran di bibir ketika ia menceritakan
bagaimana kesukaan dan kemanjaan yang diperoleh ketika ayahandanya masih ada
saat itu, sekadar sepotong ayam dan boncengan motor ke sekolah telah membuat
dia gembira. Kini alam pikirnya menjadi kosong sehingga lamunan kenangan juga
tak dapat mengisi kekosongannya. Sebuah dipan kayu di sudut pun tampak kosong.
Senthong (kamar) pun kosong. Pintu-pintu terbuka pada dinding papan menjadi
gambaran sebuah ilustrasi tentang suatu kekosongan. Di ujung tampak sekadar dua
ekor tikus lalu lalang seakan dia mencoba mengisi kosong tersebut, kosong hati,
kosong ruang, kosong bilik, kosong dipan, kosong tatapan kini melekatinya.
Ibundanya menimpali “Ya,
ini akibat pulung gantung”, selain kosong mimiknya juga tampak sedih tergurat
di wajah. Kini persoalan menimpa mereka berdua, persoalannya: adakah perihal
yang ternyeri selain perihal kekosongan?
Persepsi mistik, daur
ulang pengetahuan tentang kepercayaan mistik oleh masyarakat “modern” sekitar
telah membingkai kisah nyata, bahwa berakhirnya dari semua ini adalah
ketakberadaan atau kekosongan. Era modern yang dikatakan dapat menambal
kekosongan manusia atau ketaklengkapan manusia, kini mencoba melihat atau
memahami kepercayaan mistik pulung gantung dengan menerima kenyataan bahwa
akibat akhir dari pulung gantung adalah kekosongan. Hal ini kebetulan pada
persoalan pergi ataupun yang ditinggal pergi, ternyata titik singgung pikiran
modern yang mencoba memahami pulung gantung hanya berhasil mengetahui bahwa
persoalan dan persoalan dasar manusia berakhir pada kosong.
Ipha
Selanjutnya
Seperti kita ketahui bahwa
fenomena pulung gantung telah menjadi kenyataan sehari-hari bagi masyarakat
Gunungkidul. Hal ini berakibat masyarakat setempat yang mengenal/mengetahui
akibat dari peristiwa pulung gantung bukanlah menganggap sebagai peristiwa yang
luar biasa, seperti halnya suatu siklus alam antara musim kemarau dan musim
hujan. Hal ini terbaca saat kami mengunjungi Ipha untuk terakhir kalinya (11
Juli 2010).
Pengertian pulung gantung
oleh Ipha seperti halnya pengertian masyarakat setempat yang menganggap bahwa
pulung gantung merupakan penyebab orang bunuh diri. Baginya, sebagian besar
orang-orang yang meninggal karena pulung gantung adalah orang yang sedang
kosong pikirannya sehingga mudah dirasuki oleh roh jahat.
Kini, ekspresi wajah Ipha
tentu saja sangat berbeda dengan Ipha yang kami temui sewaktu dulu, pertanyaan
sudah terjawab oleh Ipha tentang penyebab kematian ayahnya. Ada suatu kelegaan
di wajahnya karena mengetahui penyebab dari peristiwa tersebut tidak
semata-mata kesalahan ayahnya melainkan didorong oleh suatu roh jahat.
Pengertian semacam ini telah menjadi pengertian masyarakat setempat pula,
ditambah dengan faktor kepasrahan, kini Ipha telah menjadi sosok yang berbeda.
Tampak kuat dan lebih dewasa dari sebelumnya. Kalimat-kalimatnya meluncur
dengan riang ketika membicarakan tentang sekolahnya maupun dunia remajanya.
Suasana lebih hidup kini
telah mewarnai keluarga yang pernah mengalami kejadian kematian tersebut. Ipha
kini tidak tertarik ketika diajak membicarakan topik pulung gantung. Manusia
yang dikenal sebagai makhluk yang adaptif telah dapat mengatasi suasana mati di
rumah tersebut, tempat yang sama yang mereka tinggali sejak lampau. Kini
kelengangan rumah itu telah tertutup oleh wajah ceria Ipha. Pertanyaan yang tak
terjawab oleh modernitas tentang kekosongan lewat berjalannya waktu telah
terselesaikan oleh ekspresi wajah.
Wajah adalah milik kita
bersama. Kita mengenal wajah sebagai identitas, baik secara individu maupun
publik. Masyarakat dapat ditandai dari wajahnya pula. Pengenalan individu dari
wajah tercatat antara lain dalam kartu identitas yang formal. Ranah individu,
publik sekaligus ekspresinya dapat dikenali hanya dari wajah. Bahkan lebih jauh
pernah dikatakan tak dibutuhkan lagi komunikasi selain tatapan ke wajah. Dari
sini dapat kita katakan wajah mempunyai arti yang penting. Cermin dari suatu
jiwa dapat juga terlihat dari wajahnya. Sekelompok masyarakat dari pasar tradisional,
dapat terbaca permasalahannya dari wajah-wajah mereka. Dasar yang paling
komunikatif untuk melihat permasalahan di suatu daerah dapat diwakili oleh
ekspresi wajah-wajahnya.
Hal semacam ini digaris
bawahi oleh Schopenhauer bahwa sedemikian pentingnya sebuah wajah sebagai suatu
refleksi dari gambaran batin manusia bahkan lebih jauh dinyatakan bahwa
pembacaan yang salah tentang karakter dari wajah seseorang bukanlah kesalahan
dari wajah itu sendiri melainkan dari pembacanya artinya bahwa wajah memiliki
suatu kebenaran mutlak sebagai cermin batin manusia.
Hegel menekankan bahwa
tubuh, khususnya wajah, memanifestasikan jiwa: “wajah memiliki sebuah … pusat
yang di dalamnya relasi kejiwaan dan kerohanian dengan materi termanifestasikan
.”
Hal tersebut diatas
merupakan suatu sudut pandang uraian tentang wajah. Wajah yang dapat
menyiratkan suatu kepercayaan diri, wajah juga membuka suatu pengertian
komunikasi ataupun pemahaman dari pihak luar terhadap dirinya. Sedangkan
identitas Ipha yang sebelumnya merupakan identitas kematian dari ayahnya
ataupun suatu identitas kepercayaan masyarakat setempat yang selalu digayuti
oleh pengertian kematian yang tidak dipahaminya, kini telah hilang. Dalam hal
ini melihat wajah Ipha sewaktu kejadian kematian ayahnya adalah wajah
masyarakat Gunungkidul secara keseluruhan, menyiratkan ketidakpahaman tentang
suatu kehilangan yang tiba tiba, alam yang tidak berpihak, alam yang memberi
energi hidup sekaligus alam memilih kematian siapa yang akan diambilnya. Upaya kentongan
yang bertalu-talu ataupun suara doa yang dipanjatkan untuk keselamatan
terdengar bergema untuk menghindari ‘wajah-wajah mati’ (pulung gantung).
Dapat disimpulkan
persoalan mengenal wajah adalah sesuatu yang terpenting untuk dapat membaca
suatu permasalahan di dalam masyarakat. Wajah Ipha ataupun ibunya saat itu
adalah gambaran identitas wajah tentang mati, sekaligus gambaran ketakpahaman
tentang mati yang bisa datang sewaktu-waktu.
---------------
Saat itu juga, pada 3
Oktober 2009 kami bertemu dengan seorang penyuluh lapangan (Kasiar) yang
mengulas banyak hal tentang pulung gantung. Menurutnya, pulung gantung memang
ada dan selalu berkelanjutan
“Bentuk pulung gantung
seperti lintang tapi besar, bundar bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah,
kemerah-merahan dan dibelakangnya seperti ular panjang/tali yang sering kali
digunakan untuk bunuh diri (dadung), hinggap di pohon-pohon besar maupun rumah
tinggal. sepanjang dia berkelebat warnanya berubah-ubah. Berkilatan merah,
berkilatan kekuning-kuningan, berkilatan kemerah-merahan, berkilatan hijau.”
”Bermacam-macam, ada yang
menggunakan jarik selendang, terus kadang-kadang ada yang menggunakan dadung
kangkung, dadung lembu itu bisa, kadang-kadang menggunakan tambang plastik,”
Jawabnya ketika kami
bertanya alat apa yang sering digunakan pelaku untuk gantung diri.
Sesaat setelah Kaser
dikubur, di wilayah Prigi yang tidak jauh dari kecamatan Tepus ada pula warga
yang nggantung (bunuh diri dengan gantung diri) dan langsung dimakamkan hari
itu juga untuk menghindari korban lainnya. Ada hal yang menarik saat kami
melakukan percakapan dengan narasumber ini, dengan tenangnya ia menceritakan
bahwa kakak perempuan, keponakan, kakak ipar, tetangga serta besannya semua
meninggal dikarenakan gantung diri. Menurutnya pulung gantung-lah penyebab
kematian mereka.
Menurut adat Jawa di
Gunungkidul, jika seseorang meninggal karena bunuh diri maka cara pemakamannya
tanpa dimandikan serta tanpa dibungkus kain mori. Karena diyakini jika
menggunakan prosesi tersebut akan menimbulkan kejadian yang berkelanjutan.
Menurut Kasiar, narasumber kami.
“Kalau korban bunuh diri
dimandikan serta diberi kain mori malah nanti berkelanjutan, jadi di
belakangnya yang dicurigai masih ada-ada saja itu. Memang hal ini prinsip dari
orang Jawa kuno, misalnya terjadi seperti itu ya seperti ngubur anjing aja,
persis anjing itu ga dimandiin ga diapa-apa langsung dikubur pakai tikar.”
Mengejutkan memang, tetapi
itulah yang terjadi di Gunungkidul, sebuah mitos tentang pulung gantung dan telah
mendarah daging dalam nadi masyarakat serta telah diyakini merenggut banyak
penduduknya.
Ketakutan
Pada hari Kamis, 04 Maret
2010, untuk kesekian kalinya kami melakukan perjalanan menelusuri jejak pulung
gantung di Gunungkidul untuk mengenal lebih dekat mitos tersebut. Akhirnya
sekitar pukul empat sore tibalah kami di kediaman Pak Kasiar, seorang
narasumber yang memiliki banyak “kelebihan”.
Pada saat itu, Kasiar
menganggap kami berjodoh dengannya karena bisa berjumpa tanpa janji terlebih
dahulu. Kebetulan saja dia baru pulang dari kota Yogyakarta untuk mengurus
sesuatu hal di Jamsostek.
Hal yang pertama kali kami
tanyakan adalah perbedaan pandangan orang tentang pulung gantung. Sebagai orang
luar, kami ingin mendapat kejelasan yang lebih tentang pulung gantung dari
Kasiar karena banyak orang yang tinggal di wilayah berbeda di kawasan
Gunungkidul yang tidak mempercayai keberadaan pulung gantung. Menurutnya,
manusia di manapun pasti memiliki banyak perbedaan sehingga sangat wajar jika
di masyarakat Gunungkidul ada yang percaya dan tidak, karena berbeda keyakinan.
Kami pun melontarkan
keinginan bila sewaktu-waktu entah bulan depan, kami tinggal sehari dua hari di
rumahnya untuk bermalam dan dengan antusias dijawabnya “Bisa, sangat bisa”.
Kebetulan ada berita di daerah Pak Kaser kurang lebih seminggu dua minggu yang
lalu tampak pulung gantung yang berkeliaran meskipun tidak membawa korban dan
banyak orang yang menyaksikan hal tersebut. Kami pun sangat bersemangat dan
meminta Kasiar untuk mengantarkan kami ke wilayah tersebut saat itu juga.
Selama di perjalanan kami
membicarakan tentang pulung gantung. Kasiar seorang yang memiliki daya lebih
ternyata memiliki kengerian terhadap pulung gantung. Tiap malam, hal yang dia
takuti adalah pulung gantung, yang kelihatan mencorong-corong. Bila jalan di
tempat yang agak sepi ketakutan itu datang, nyeri dan mengkorok. Diapun kurang
tahu dari mana asal pulung gantung, mungkin sesuatu yang berkeliaran, sesuatu
yang nglambrang (tanpa arah). Dia berulang kali mengatakan kalau dia takut
bertemu dengan pulung gantung.
Karena letak desa yang
kita tuju sangat dekat, maka kurang dari 15 menit sampailah kami di daerah Purwodadi,
Tepus. Kami pun menuju sebuah rumah yang tampak lebih “berada” dari rumah di
sekitarnya. Ternyata Pak Sudiono yang kami cari masih berada di ladang, kami
pun diperbolehkan masuk oleh istrinya dan dipersilakan untuk menunggu karena
sebentar lagi suaminya akan pulang. Selama menunggu, kami pun meneruskan
percakapan kami dengan Kasiar.
Lebih lanjut Kasiar
mengatakan bahwa seseorang yang melakukan nggantung tidak sadar jika dirinya
melakukan tindakan untuk menghilangkan dirinya tersebut, sangat berbeda dengan
bunuh diri yang lain semisal minum racun yang tentunya sangat disadari oleh
pelaku bunuh diri tersebut. Kalau menggantung, dia yakin bahwa korban itu tidak
ingat dengan apa yang dilakukannya, karena banyak kejadian bunuh diri dengan
cara menggantung yang sebenarnya tidak logis jika tindakan ini mengakibatkan
kematian.
Semisal Paser yang
menggantung di gubuk dekat pantai, dengan posisi yang lututnya masih menyentuh
tanah, posisi seperti orang berlutut sangat tidak mungkin jeratan tali bisa
merenggut nyawanya. Sedangkan nggantung secara logis adalah posisi kaki yang
minimal 5 cm menggantung dan tidak menyentuh tanah. Lebih lanjut menurut
Kasiar, Pulung gantung adalah makhluk halus yang menjadi mata-mata orang
sehingga orang tersebut lupa ingatan, tidak tahu dia digantung, ada
“kawan-kawan” yang membantu seseorang tersebut mengakhiri hidupnya.
Akhirnya sekitar jam lima
sore, Pak Sudiono tiba dari ladang, kami pun langsung menanyakan tentang
kebenaran pulung gantung yang berkeliaran. Dia mengiyakan bahwa sekitar dua
minggu yang lalu memang ada sejenis bola api berwarna merah yang tidak tentu
ketinggian terbangnya di wilayah Sureng dengan arah yang tak beraturan. Banyak
warga yang menyaksikan. Akhirnya bola api itupun mendapat korban dari Dusun
Nglutan yang masih satu wilayah Purwodadi Tepus.
Sebenarnya sudah ada upaya
warga untuk terbebas dari pulung gantung dengan membunyikan pecut diharapkan
pulung gantung akan pergi dari wilayah tersebut. Upaya lain yang dilakukan
masyarakat adalah dengan ruwatan atau mengadakan upacara dengan harapan bala
tersebut menjauh dari wilayah itu.
Sebuah pernyataan dari Pak
Kasiar tentang ketakutannya bila datang ke wilayah Sureng di waktu malam, takut
menjumpai pulung gantung kewibawaannya yang membuat mengkorok (bulu kuduk
berdiri). Akhirnya kami pun membahas ketakutan tersebut, seorang Kasiar yang
memiliki kelebihan dibandingkan masyarakat pada umumnya pun takut menjumpai
pulung gantung karena sangar (menakutkan) sekali bagi mereka.
Akhirnya kami pun
menyudahi kunjungan kami di rumah Pak Sudiono, kami pun pulang dengan
mengantarkan pak Kasiar terlebih dahulu. Di perjalanan menuju Jogja kami pun
membicarakan hal-hal yang kami dapatkan tadi. Ketakutanlah yang menjadi fokus
kami, kewibawaan seperti apakah yang dimiliki pulung gantung sehingga membuat
masyarakat bahkan seorang Pak Kasiar menjadi ngeri untuk keluar rumah.
Kewibawaan sebuah tanda kematian atau ketakutan terhadap kematianlah yang
membuat banyak orang menjadi ngeri terhadap pulung gantung? Kesaktian seperti
apakah yang ditawarkan pulung gantung sehingga membuat manusia mengkorok
(berdiri bulu kuduknya)?
Sebuah perenungan panjang
akan kewibawaan kematian maupun tanda kematian untuk menjadi sebuah karya
diharapkan dapat memberi suasana tentang mati. Seperti halnya pulung gantung
memberi kengerian terhadap masyarakat.
Hal lain, banyak orang
tidak mempedulikan wilayah di luar keberadaan materiil mereka. Wilayah itu kita
tutup dengan sebuah tembok yang dibangun dengan pancaindra, yang membuat kita
percaya hanya pada hal yang bisa kita sentuh dan bisa kita lihat. Akan tetapi
kewibawaan pulung gantung mampu menembus dinding itu, seolah dinding itu
transparan. Bagi kami, hanya ada satu kesimpulan di sini bahwa kita semua telah
terlibat dengan kematian sejak awal mula. Kita dikelilingi oleh banyak
peristiwa dan tanda yang menggiring kita pada kematian tersebut. Hanya saja
adakah keberanian maupun kesiapan untuk menghadapi tanda maupun kematian itu
sendiri?
---------------
Lain Kasiar, lain pula
pandangan Mbah Rejo tentang pulung gantung. Jauh hari sebelum bertemu
narasumber Kasiar, pada tanggal 26 Agustus 2009 kami menemui Mbah Rejo untuk
kedua kalinya, seseorang renta yang dipercaya masyarakat sekitar memiliki daya
linuwih (kelebihan daya spiritual) dengan kebiasaannya mengelilingi kampung
pada pukul 02.00 atau 03.00 dini hari. Berkomunikasi dengannya merupakan
tantangan tersendiri usia lanjut telah berpengaruh terhadap daya ingat maupun
daya dengarnya. Sering kalimat-kalimat dan ceritanya tak tentu arah. Seperti
igauan-igauan untuk dirinya sendiri, melantur ke arah cerita lain, sering pula
ke arah sejarah yang dia juga hafal di luar kepala.
Menurut dia yang pernah
menyaksikan pulung gantung ketika tetangganya meninggal bunuh diri, pulung
gantung berbentuk seperti ular kemerahan dan hinggap di pohon randu pada
halaman rumah korban. Ia pernah juga melihat pulung yang berbeda, warnanya
seperti lampu petromaks yang terang bersinar putih kekuningan dan jatuh di
sebuah desa tetangga, kejadiannya kurang lebih pukul 16.00 WIB. Pendapatnya,
pulung itu membawa keberuntungan bagi penduduk sekitar dengan ekonomi yang
mendadak berubah, mereka menjadi lebih sejahtera.
Sedangkan bagi Mbah Rejo,
pulung gantung merupakan makhluk yang berasal dari laut Selatan. Segala upaya
masyarakat untuk menolak pulung gantung tidak akan berhasil. Karena pulung
gantung hanya akan pergi jika memang ingin pulang ke laut Selatan.
Dari percakapan kami
dengan para narasumber, dapat kami tarik benang merah bahwa kepercayaan
masyarakat Gunungkidul terhadap pulung gantung sangatlah tinggi dan beriring
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kejadian demi kejadian bunuh diri berkaitan
dengan pulung gantung.
Kamis-Jumat,
24-25 Desember 2009
PERTEMUAN selanjutnya
dengan Pak Kasiar yang semula kami anggap hanya sebagai penyuluh masyarakat
ternyata dia juga seorang paranormal yang mengkhususkan diri dalam bidang
pengobatan. Dengan komunalnya sekitar 15 orang setiap malam Jumat sejak pukul
21.00 malam hingga pukul 01.00 malam dini hari mereka mengadakan terbanan,
yakni melagukan ayat-ayat suci Al-quran dengan diiringi menabuh alat musik
terban. Acara ini dimaksudkan untuk meminta keselamatan dijauhkan dari
marabahaya dengan mengkhususkan menolak bala dari pulung gantung. Mereka
menyadari bahwa pulung gantung merupakan suatu bala dan alunan ayat-ayat suci
yang dapat menolaknya.
Percakapan kami dengan
Kasiar tentang pulung gantung, kembali ia menegaskan: “Pulung gantung telah
banyak diketahui oleh masyarakat di daerah sini baik bentuk, warna serta sering
mereka mengetahui arah datangnya pulung gantung.”
Pulung gantung akan
hinggap kepada orang yang sedangkan kosong pikirannya. Bahasa Kasiar adalah
kosong imannya. Entah, disebabkan karena masalah ekonomi, pertengkaran dalam
keluarga atau penyakit. Dan hinggapnya pulung gantung pada orang tersebut
berakibat seseorang tersebut termotivasi untuk bunuh diri. Dia menambahkan pula
bahwa kedatangan pulung gantung bisa saja berbentuk manusia yang dikenal oleh
korban dan dalam tindakan bunuh diri tersebut, sang korban akan dibantu di
dalam prosesinya. “Satu orang” akan mengalungkan tali di lehernya serta
“seseorang yang lain lagi” akan mengangkat tubuh korban. Sehingga motivasi
ataupun proses kematiannya merupakan sesuatu tindakan yang didorong serta
dikonkretkan oleh sang pulung gantung tersebut.
Saling menimpali tentang
keberadaan pulung gantung di antara komunal tersebut. Lain lagi kesaksian Parno
yang melihat pulung gantung sekitar 40 hari sebelum kedatangan kami kali ini.
Ceritanya, sekelompok orang yang salah satunya adaah Parno sedang menyembelih
kambing di acara sripah (meninggalnya seorang warga yang pernah mencoba bunuh
diri tetapi selamat meskipun akhirnya meninggal karena jatuh terpeleset ke
dalam jurang ketika mencari makanan ternak). Waktu itu tiba-tiba mereka melihat
pulung gantung yang melesat meninggalkan kediaman mbah Karto.
Menurut Saino, pulung
gantung adalah setan siluman berbentuk seperti bola api, bisa juga seperti
manusia dan hal tersebut merupakan suatu bentuk penyakit yang bisa masuk ke
dalam manusia yang sedang memiliki pikiran yang tidak “pas”. Mendorong mereka
untuk melakukan bunuh diri. Jadi orang
yang pikirannya kosong akan mudah dimasuki oleh pulung gantung, tambahnya.
Tepus…
Atap rumah-rumah di Gunung
Kidul khususnya di daerah Tepus bergenting tipis menghitam kelumutan. Pada
kerpusnya (wuwung) berhiaskan aksesoris ornamen yang terbuat dari seng
terkadang berbentuk rumah-rumahan atau sulur-suluran ornamentik. Dari hal ini
seakan menyiratkan kepada kita, sesuatu yang teratas bagi penghuninya terbentuk
pada wuwung yang merupakan suatu tempat sakral dan juga merupakan suatu tempat
terindah, tempat tertinggi yang mencerminkan penghuninya.
Wuwung merupakan suatu
media bertemunya penghuni rumah dengan alam kosmos di atas. Seperti halnya
bertemunya orang sekitar Tepus dengan pulung gantung miliknya. Jalan di sekitar
rumah Pak Kasiar yakni di Tegalweru, desa Tepus sama dengan jalan pada umumunya
di desa di Gunung Kidul dengan susunan batu karang putih yang tajam dan
meruncing seakan menggambarkan bahwa
kehidupan alam bumi mereka yang keras dan tajam. Alam di atas alam gaib, alam
di bawah alam keras.
Watu
Putih
Susunan batu putih
menutupi ruas jalan, bertapaknya kaki-kaki telanjang melewatinya. Kaki mereka
tak beralas, dengan punggung menggendong beban rerumputan dan daun yang
dicarinya untuk ternak. Setiap langkah kaki mereka dengan beban di punggungnya
itu menjadikan tumpuan di kaki semakin berat, sementara jalan yang ditapakinya
merupakan susunan batu yang tajam. Dari tapak-tapak kaki mereka mendapatkan
kesakitan, juga hal ini memberi kesadaran bagi mereka bahwa hari ataupun jam
yang dilewati dalam hidup kesehariannya
sama halnya dengan langkah kesakitan ini.
Tentunya dengan beban di
punggung membuat badan mereka doyong ke depan, menyiratkan menghindari semua
beban bertumpu pada kaki-kaki tersebut. Posisi badan yang doyong ke depan
terseimbangkan dengan langkah-langkah yang bergegas itu. Tubuh yang terselamatkan
tidak tersungkur ke depan ternyata terjaga oleh kesakitan. Kesakitan akan
diabaikan dan menjadi hal yang biasa-biasa saja. Keselamatan menjadi prioritas
bagi keseharian mereka. Kesakitan adalah hal keseharian yang selalu ditemui
seperti halnya setiap kali mereka menapakkan kakinya di tanah. Kesadaran
tentang keseimbangan ada di dalam keseharian, mereka meskipun mereka
mendapatkannya dari bumi tetapi terbayar juga dengan luka di kaki. Sakit tidak
lagi menjadi permasalahan karena suatu keselamatan yang didapat itu akhirnya
sanggup mengatasi segala bentuk kesakitan tersebut.
…titik
pikiran…titik nyata…
28 Desember 2009, kembali
dan kembali lagi kami ke tempat Kasiar. Perjumpaan kali ini banyak yang kami
dapat selain ketegasan pengakuan dari Kasiar sendiri bahwa dia adalah seorang
“tua” yakni seseorang yang dianggap oleh masyarakat sekitar memiliki kemampuan
supranatural dan dapat menyembuhkan orang yang khususnya terkena gangguan dari
alam lain. Saat itu di rumahnya bertamu empat orang lelaki berusia sekitar 60
tahunan. Di ruang tamu berjajar meja kayu serta dipan kayu sederhana. Semuanya
tampak lengang, meskipun terjadi pembicaraan yang serius di antara mereka.
Salah satu dari mereka
adalah Suradi yang sekitar 2 bulan lampau mengalami suatu peristiwa yang berhubungan
dengan pulung gantung. Kejadian tersebut menurut pengakuannya adalah diawali
datangnya dua laki-laki setengah baya di pagi hari yang mengajaknya pergi,
selang sekian hari Suradi pun bersiap untuk mengikuti mereka tetapi karena pada
hari itu cuaca terik maka mereka menunggu hingga sore hari “…mengko wae nek wis
ra panas.. (nanti saja kalau sudah tidak panas)” ujar salah satu dari mereka.
Petang telah datang,
beranjaklah Suradi hendak meninggalkan rumah untuk mengikuti tamunya tersebut.
Bagi keluarganya, dalam beberapa hari itu tingkah laku serta tindakan Suradi
tampak ganjil dan juga selalu tercetus kata “…Mesakke wong loro kui, wis nunggu
kawit mau, aku arep lunga melu (kasihan dua orang itu, sudah menunggu dari
tadi, aku akan pergi ikut mereka).”
Perasaannya saat itu hanyalah girang dan girang serta sangat
berkeinginan untuk pergi dengan ke dua orang tersebut.
Sebaliknya bagi
keluarganya, situasi menjadi tidak terkendali. Kata-kata “diajak” dan “pergi”
yang terlontar dari Suradi terdengar aneh bagi keluarga, ditambah lagi karena
mereka tidak melihat seorangpun yang menunggu Suradi di depan rumah, tepatnya
di bawah barongan bambu (sekelompok pohon bambu yang lebat) seperti yang
dikatakan Suradi. Omongan dan igauan berulang yang tidak terarah, menambah
kekhawatirkan keluarga. Dan, puncaknya ketika berkelebat Suradi hendak pergi,
lolongan tangis dan teriakan keluargapun tak kuasa untuk menahannya. Hal ini
adalah situasi tak sadar bagi Suradi, dekapan erat oleh para tetangga tak kuasa
menghentikannya. Dia mengibaskan segala pelukan warga dengan tenaganya yang
tiba-tiba menjadi sangat kuat, upaya terakhir sang istri dengan menarik kaos
bagian tengkuk leher Suradi membuat ia malah mendekap erat batu besar yang
seakan menjadi lekat dengan tubuhnya. Tarikan keluarga serta tetangga tak mampu
menarik Suradi kembali kedalam rumah.
Kasiar menambahkan
“…akhirnya pukulan di kepala yang sangat keras dan doa oleh saya yang membuat
pak Suradi lunglai dan melepaskan dekapannya pada batu tersebut”. Dalam
Seminggu setelah kejadian tersebut sang istri selalu mengamankannya, kemana ia
melangkah tak lepas dari pengawasan. Dan dua hari setelah kejadian itu masih
juga dikatakan bahwa 2 orang tersebut tetap menunggunya hingga sang istri
bertindak membakar segenggam cabe di bawah pohon bambu itu dan disiramkan air
panas serta umpatan “….men picek matane (biar buta matanya)”. Hanya sang
istrilah yang berani melakukan tindakan tersebut meskipun dia tidak melihat dua
sosok itu. Ditambahkan pada jam 23.00 malam dia menyebarkan air seni di
sekeliling rumah sebagai penangkal kedatangan “tamu” pembawa bala bagi mereka.
Dua orang tak berwujud
tetapi sangat dipercaya bahwa mereka merupakan sosok-sosok yang hendak
mengantar Suradi ke alam lain. Hal ini bagi mereka merupakan suatu “gangguan”
yang masih bisa ditangkal. Alam gaib yang telah ditandai dengan datangnya
pulung gantung di pohon munggur dan dilihat beberapa orang serta Suradi sendiri
sekitar dua hari sebelum kejadian tersebut telah menjadi nyata dengan kalapnya
Suradi untuk pergi menyertai “dua orang” itu yang baginya sendiri nyata tetapi
bagi orang lain tak ada. Meskipun “tak ada” bagi tetangga sekitar, tetapi dapat
menjadi suatu bala dan khususnya bagi Suradi. Diskripsinya adalah entah karena
apa waktu itu Suradi memiliki imajinasi-imajinasi atau alam bawah sadar serta
telah menangkap kedatangan “dua orang” tersebut dan meyakininya sebagai sesuatu
bentuk manusia yang konkret dan membuatnya kalap sehingga melakukan tindakan
nyata yakni pergi tanpa ingat dan tak hirau apapun “…wis ra kelingan karo anak
bojo, anane seneng karo seneng pingin melu wong kuwi (sudah tidak ingat dengan
anak istri, adanya cuma senang dan senang ingin ikut orang itu).”
Tetapi bagi warga sekitar
“dua tamu tersebut” adalah riilnya pulung gantung dan kejadian nyata dari alam
lain serta dapat berakibat fatal (konkret) bagi Suradi bilamana dia pergi.
Suradi memahami kehadiran “dua orang” tersebut adalah nyata (riil) sehingga
berakibat melakukan tindakan yang nyata pula. Akan tetapi oleh warga sekitar
“dua orang” tersebut tidak nyata secara wadag melainkan jelas adalah hadirnya
pulung gantung.
Ini adalah suatu bentuk
kepercayaan yang sulit dimengerti. Kesadaran diri Suradi yang telah hilang
untuk sekian hari dan bawah sadarnya yang mendorong untuk mengikuti “dua orang”
yang tidak dikenalnya, serta kekhawatiran dari masyarakat sekitar dan
keluarganya bila Suradi pergi dalam keadaan semacam itu yang terjadi adalah dia
akan menceburkan dirinya ke dalam luweng (sumur kering) atau akan melakukan
tindakan menghilangkan dirinya yang dibantu oleh “dua orang” tersebut.
Rangkaian kejadian ini merupakan suatu kenyataan bahwa “pulung gantung” telah
benar-benar masuk didalam ruang kehidupan sehari-hari mereka. Alam mistis dan
alam keseharian telah bercampur. Kepercayaan dan sisi riil yang hidup
dimasyarakat tak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, kata-kata selamat terhadap
Suradi benar-benar terucap ketika Suradi dapat bebas dari ajakan “dua orang”
tersebut.
Segelas
teh dari air hujan…
Sabtu, 2 Januari 2010
pukul 15.00 WIB kami tiba di Gunung Kidul. Salah satu informasi yang kami dapat
dari Polsek Tepus tentang kejadian bunuh diri oleh Samijo seorang jejaka
berusia 30 tahun yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di hutan sebelah
rumahnya menggunakan seutas tali plastik hijau sepanjang 3 meter pada hari
Selasa, 23 Juni 2009.
Tidaklah mudah untuk
mencapai kediaman keluarga alm. Samijo, Desa Sidoharjo, Tepus. Seorang pegawai
Puskesmas Pak Sutejo mengantar kami ke tempat tersebut.
Sebuah daerah yang jauh
dari jalan besar, pelosok, jalan tanah beralas batu putih kurang lebih 2 km
dari jalan besar, perkampungan yang sangat sederhana, rumah dengan dinding
papan, sekeliling perkebunan yang lengang tampak beberapa hewan ternak dan
keseluruhan bersuasanakan diam. Kami jumpa dengan adiknya Samijo yang bernama
Painem usia 26 tahun tengah menggendong anak kecil. Raut mukanya menjadi kaku
dan dingin ketika kami mengutarakan maksud kedatangan kami untuk mengetahui
lebih dalam tentang kematian kakaknya “…nanti nunggu bapak aja dari sawah, sekarang
saya kalo ingat itu masih nangis sedih….” itulah kata yang kami terima. Suatu
penolakan dari dia untuk membicarakan kematian Samijo. Kami menunggu dengan
beberapa orang di halaman tentangga. Tak ada satu kalimat pun yang membicarakan
kejadian tersebut. Pengamatan kami beralih pada sekeliling, teras beralaskan
tanah terletak sebuah lesung kayu panjang yang digunakan untuk menumbuk padi,
jagung, serta gaplek. Tampak beberapa ayam lalu lalang, beberapa diam mengerami
telurnya. Terlihat juga anjing yang lewat dengan menggigit batang jagung
kering.
“…Ya, beginilah keadaan
kami, tak ada apa-apa…” selalu diucapkan sebuah kalimat dengan kata-kata yang
berisikan penolakan seakan hendak mengatakan juga bahwa tak layaklah mereka
menjadi bahan pengamatan atau bahan keingin tahuan kami karena tak ada apapun di
situ. Tersirat demikianlah yang hendak disampaikan oleh Painem. “Kalian berada
diluar, saya berada di dalam dan kalian tak tahu apapun tentang kami”
kesimpulan inilah yang kami dapatkan ketika menunggu.
Selang sekian waktu,
kakaknya datang, bergegas, dengan membawa rumput dipanggul di atas kepalanya
untuk makanan ternak yang dimiliki oleh keluarga. Tak lama kakak tertuanya
datang, kami pun berinisiatif berdiri di depan pintu rumah. Kini Painem
membukakan pintu rumah dan mempersilakan masuk. Sebuah ruang tamu yang
sederhana, seperangkat meja kursi, di sudut tampak TV dan DVD player. Ruang
tamu yang berdinding papan kayu dan beralaskan batu putih sederhana itu tampak
lengang.
“…Biasa mawon boso Jowo,
ngoko wae…ben iso cepet, mengko soale kula ajeng teng Wonosari kerja lembur.
(biasa saja menggunakan bahasa Jawa ngoko, biar cepat karena saya akan segera
pergi ke Wonosari untuk kerja lembur).” Dengan alasan akan segera kerja lembur
di Wonosari Daerah Jeruk, tingkah Kris sebagai kakak tertua dari korban tampak
“mempertahankan” keluarga ketika kami datang untuk mengetahui lebih lanjut
tentang peristiwa Samijo.
“…Tidak ada satu masalah
apapun diantara kami sekeluarga, Samijo hanya sakit gigi tiga hari dengan gusi
yang bengkak. Sepertinya berlubang dan kami sudah mengantarkannya ke dokter...”
penjelasan awal dari Kris. Tidak ada tanda apapun Samijo akan melakukan
tindakan nekat. Tertangkap bahwa bukan masalah keluarga atau pun sakit gigi
yang mengantar Samijo melakukan tindakan tersebut.
“..Yo mergo barang sing wigati
kae. (ya, karena sesuatu yang tidak jelas wujudnya itu…)” ujar Pak Kris.
“Maksudnya pak? Apa ini
ada hubungannya dengan pulung gantung?”
“Ya…”serentak mereka
menjawab.
“Jadi kalian percaya
dengan pulung gantung?”
Mereka empat bersaudara
serempak mengatakan bahwa mereka mempercayai adanya pulung gantung.
Ditambahkan pula oleh Kris
bahwa seminggu sebelum kejadian kurang lebih pukul 18.30 WIB, malam Jumat Legi
dia bersama istrinya melihat dhadhung (tali tambang) yang merah serta hijau
menyala mbendhol (bulat)…lebih tinggi dari pohon kelapa. Seperti ular yang
bagian depannya bulat menyala… Mereka sangat percaya bahwa hal tsb yang
mengakibatkan Samijo melakukan tindakan meniadakan diri tersebut.
“Sesuatu” mempengaruhi
orang yang sedang kosong pikirannya. Disimpulkan oleh Kris bahwa Samijo
melakukan tindakan bunuh diri “karena pengaruh dari dadung (tali tambang) yang
merah serta hijau menyala mbendol (bulat)” yang diyakininya sebagai pulung
gantung.
Aib, sakit gigi, tentunya
tidak berhubungan dalam hal ini. Seperti halnya tidak ada hubungan antara gigi
berlubang dengan kematiannya. Kesedihan dan sakitnya seseorang yang
ditinggalkan oleh salah satu anggota keluarganya jelas tampak ketika kami
mengunjungi mereka. Kelengangan suasana dan gurauan anak kecil tetangga dengan
pohon-pohon hijau di sekitarnya meskipun tak memberi suasana hati yang damai.
Keluarga bergegas sebagai ungkapan penolakan bagi orang yang hendak mencoba
untuk membongkar peristiwa Samijo.
Pertahanan diri mereka dan
merasa mereka adalah mereka tercetus ketika Sainem mempersilakan kami untuk
meminum teh sajiannya “…Itu airnya dari air hujan…” ucap Sainem setelah seteguk
kami meminumnya. Banyak makna di balik kata itu, mengungkapkan bahwa daerah
mereka merupakan daerah yang sulit air atau kata yang bermakna: Minumlah, ini
merupakan kepahitan kami.
Bunda
… Oksigen Rohaniku
Ketika hujan mengguyur
bumi dengan derasnya pada tanggal 26 Januari 2010 pukul 15.14 WIB kami
mengunjungi rumah teman di daerah Semin. Ketika kami membicarakan pulung gantung,
mereka tampak antusias dan berkenan mengantarkan kami kepada sebuah keluarga
yang memiliki trauma besar dengan bunuh diri karena banyak anggota keluarganya
yang meninggal dengan cara gantung diri. Kami pun bergegas ke desa Bolorejo,
Semin untuk menelusuri berita tersebut dan keluarga Parmo yang kami temui.
“Pak…!!!” Sebuah teriakan
dari Pram sang anak yang berusia 1,5 tahun tak pelak membuat ibunya yang sedang
mencuci segera berlari kearah asal suara. Dengan tidak percaya, dia melihat
suaminya telah pergi untuk selamanya. Dilihatnya Pram sedang memeluk kaki bapaknya
yang telah bergantung layu. Seperti sebuah pagutan pelukan pada sebuah tiang,
sebuah tokoh religius tidak dalam moment duduk memeluk (pieta) melainkan Sang
Bunda di dalam kesedihannya memeluk tiang salib dimana jarak beberapa inci di
atasnya kaki terpaku kuat. Tetapi dalam hal ini sang Pram bukanlah tokoh
berskala besar itu, memeluk kaki bukan pada sebuah tiang, melainkan pada kaki
yang berayun karena lehernya bergantung pada sebuah tali, sehingga menjadi
garis titik hilang antara leher dan tubuh yang merupakan sebuah media bukti
bangunan fana dan kaki berayun ini merupakan jejak terakhir dari keberadaan
ayahnya yang masih dapat diraih oleh dekapan Pram. Bagi istri Parmo, mungkin
kejadian bunuh diri ini sendiri tidaklah bertambah berat jika peristiwa ini
tanpa diiringi seorang anak yang memeluk erat kaki berayun tersebut. Semua ini
adalah kesedihan yang rangkap baginya. Kehilangan suami yang bergantung serta
melihat kesedihan Pram memeluk jasad ayahnya. Hal ini merupakan batas antara
religiositas (kembalinya ke yang di Atas) dengan kenyataan (kesedihan Pram);
seperti suatu batas antara kaki yang tersalib di sebuah tiang dengan sebuah
kenyataan kini yakni kaki yang bergantung karena bunuh diri. Pendar-pendar
religiositas dari sebuah kematian menemui titik nyata berbentuk kesedihan.
Peristiwa sebelum senja itu membekas untuk selamanya di kehidupan Pram.
Sebelum kejadian tersebut,
Parmo adalah sosok petani yang rajin, selain bekerja diladang dia pun mencari
pakan ternak di pekarangan dekat rumahnya. Menurut penduduk Bolorejo, Semin
Gunung Kidul, tempatnya mencari pakan ternak adalah tempat yang wingit (angker)
sehingga sangat memungkinkan kalau Parmo telah diganggu oleh makhluk gaib
sesaat sebelum mengakhiri hidupnya dengan cara gantung gantung diri di dapur
rumahnya. Dia bertumpu menggunakan kronjot (sejenis keranjang anyaman dari
bambu yang biasanya digunakan masyarakat desa untuk membawa rumput ataupun
hasil tani yang ditempatkan di belakang motor/sepeda) yang diletakkan di atas
meja.
Ketika diruntut dari
silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan ibu, Parmo adalah generasi
keempat sekaligus orang ketiga yang melakukan gantung diri. Pertama adalah
simbah buyut yang dua kali gagal dalam percobaan untuk mengakhiri hidupnya,
yang kedua adik dari ibunya (paman dari Parmo) yang berhasil mengakhiri
hidupnya, dan yang ketiga adalah Parmo sendiri.
Menurut penuturan Pak
Tardi kakak tertua dari Parmo yang tinggal serumah dengan keluarga Parmo, adik
keempatnya itu nekat mengakhiri hidupnya dikarenakan pikiran kacau oleh adanya
isu berkembang di masyarakat sekitar yang mengatakan bahwa mantan istrinya
hamil karena ulahnya. Padahal saat itu Parmo telah menata hidup dengan istri
barunya yang memberinya seorang anak. Hal ini berbeda dengan penuturan
istrinya: karena mencari rumput di tempat wingitlah sehingga ia diganggu
penunggu daerah tersebut. Hal itulah penyebab tindakan nekat Parmo. Sedangkan
masyarakat sekitar selalu mengaitkan dengan pulung gantung. Ada sebuah pertanda
yang telah dirasakan oleh kakak ketiga Parmo yang sedang merantau di Jakarta,
sebuah mimpi yang menunjukan adanya begitu banyak ular yang berkumpul di rumah
Parmo dan itulah akhir hidup Parmo.
Sebuah luka yang dialami
Pram sangat berpengaruh terhadap kejiwaannya karena di usia yang masih sangat muda
ia menyaksikan dan mendekap kaki ayahnya yang tergantung. Sekarang usia Pram
sudah 4 tahun dan kejadian tersebut sudah 2,5 tahun berlalu. Ketika kami
berbincang dengan kakak serta istri Parmo, Pram mendampingi mereka, tepatnya
dia duduk bergayut pada ibunya, selalu tak ingin lepas dalam dekapan. Terbayang
oleh kami bagaimana sembari berteriak dia mendekap kaki ayahnya. Kini yang
didekap Pram bukanlah kaki ayahnya pada saat mengalami ajal melainkan tubuh
hangat ibunya dengan gerakan dadanya menggambarkan tarikan nafas yang hidup.
Pergantian dekapan dari yang dingin kaku dan sedih ke dekapan hangat tubuh yang
sekarang disertai sisa-sisa trauma pikiran yang lampau, kini semakin membuat
Pram tak hendak lepas bergayut dari ibunya. Setiap tarikan nafas dari ibunya
menjadikan Pram seolah-olah mendapat nafas baru untuk mengobati traumanya. Hal
semacam ini bagi Pram merupakan suatu kebutuhan bagi nafas rohaninya. Ibu tidak
hanya menjadi sebuah bumi tempat dia berpijak, ibu merupakan udara bagi
paru-paru rohani traumatiknya. Ketergantungan oksigen tidak sekadar oksigen di
udara melainkan setiap hela nafas ibunya merupakan oksigen rohaninya, dapat
dikatakan bahwa kehidupannya didapat dari orang yang mencintainya.
Sugiarjo
Tempat kejadian bunuh diri
Sugiarjo, ditunjukan kepada kami oleh tetangganya. Tepatnya di sisi selatan
rumah tinggal, sebuah kebun yang sedikit berundak, terdapat sebuah pohon mangga
namun kini telah ditebang, dalam bayangan kami pohon itu tidak terlalu besar
tetapi cukup kuat sebagai tempat menggantung tubuh Sugiarjo. Tetanda tempat
menggantung tersebut, kini menjadi tempat penting bagi keluarga yang
ditinggalkannya. Tapal batas berakhirnya Sugiarjo menjadi sebuah tempat yang
sanggup membekukan memori kebahagiaan keluarga pada almarhum. Tapal batas ini
membekukan segala kenangan tentang Sugiarjo dengan demikian kesedihan mereka
sekeluarga tidak dapat mencair hilang. Bagi anggota keluarga, tapal batas
tersebut akan selintas terlihat ketika berjalan kebelakang rumah, meskipun
pohon mangga telah ditebang tetapi dari cara mereka menunjuk tempat tersebut,
terbaca oleh kami bahwa memori anggota keluarga Sugiarjo tidak akan pupus
dengan tertebangnya pohon itu.
Sugiarjo, kini berada di
dalam kebekuan memori kesedihan keluarganya dan harta keluarga tersebut
merupakan sebuah bentuk tapal batas, tetenger hilangnya hidup.
Seperti pada pagi hari
biasanya, sekitar pukul 03.00 pagi, sang emak ke dapur untuk memasak, ketika
hendak mengambil kayu bakar di sisi rumah terlihat sebentuk tubuh tergantung
pada pohon mangga. Dia hafal benar dengan pemilik tubuh tersebut. Seketika dia
berteriak histeris dan seketika itu pula hilang kesadarannya. Keluarga dan
tetangga yang mendengar jeritan tersebut, segera berlari ke arah sumber suara.
Waktu seakan menjadi diam. Sugiarjo yang mereka kenal cerdas, pandai bergaul
dengan hobi bermain gitar dan bernyanyi dengan adiknya serta mempunyai semangat
yang tinggi untuk bekerja kini telah meninggal bergantung di pohon mangga.
Sebentuk siluet tubuhnya menjadi asesori tak lazim di pohon tersebut. Tetangga
dan keluarganya tidak segera menurunkan tubuh Sugiarjo menunggu petugas dari
kepolisian. Seisi keluarga, kerabat dan tetangga merasakan diamnya waktu
semakin panjang, mereka dipaksa untuk melihat lebih cermat bagaimana Sugiarjo
dengan wajah menunduk, dingin membatu, berayun dari dahan pohon. Seketika ada
jarak yang jauh antara mereka dengan Sugiarjo. Dan mereka menyadarkan diri
mereka bahwa tubuh yang bergantung itu milik Sugiarjo.
Cuplikan percakapan kami
dengan keluarganya:
“Ada firasat apa sebelum
kejadian?”
“Tidak ada, biasa saja”
“Mungkin ada pesan atau
dia pamit sebelum kejadian ?”
“Tidak ada pesan apapun,
tidak ada kelainan. Bahkan berkelakuan seperti biasanya.”
“Atau mungkin ada
masalah?”
“Tidak ada.”
Tapal batas di dalam
kebudayaan Jawa merupakan suatu hal yang penting. Bahkan kitab kejawen yang
banyak membahas tentang tata letak terdapat di kitab primbon; dan memberikan
makna yang penting terhadap tata letak, posisi rumah ataupun tata letak ruangan
yang antara lain berpengaruh terhadap rejeki atau malapetaka pemiliknya.
Kerangka berpikir maupun aktifitas keseharian selalu mengacu kepada tertanda
ilmu hitung menghitung berdasarkan ilmu jawa tersebut. Dalam hal ini diharapkan
seseorang mendapat suatu keselamatan. Kini tetenger itu bukan merupakan
tetenger yang bersifat abstraksi dalam wacana. Bagi keluarga Sugiarjo tetenger
di sini menjadi tetenger yang nyata bagi suatu kehilangan satu anggota
keluarganya. Dasar hitung menghitung berdasar primbon merupakan suatu hal yang
rumit bila dibandingkan dengan pohon mangga tempat bergantungnya Sugiarjo.
Pohon mangga telah hilang, kini suatu legalitas terhadap kekuatan suatu tetanda
yang berada di dalam alam pikiran tidak lagi dikaitkan dengan tetanda yang riil
(pohon mangga telah ditebang). Bagi keluarga Sugiarjo tetanda sebenarnya adalah
pada simpul-simpul pikiran dan terbawa selamanya.
Ketidakadaan gejala serta
tanpa alasan apapun bagi anggota keluarga bahwa Sugiarjo akan melakukan bunuh
diri membuat tindakan tersebut tidak dapat dimengerti. Ketidakmengertian ini
seperti halnya ketidakmengertian bagaimana hilangnya sebuah pohon mangga masih
dapat menjadi suatu tetanda kesedihan yang hidup di alam pikiran mereka.
Kesedihan yang hidup berdampingan dengan kehidupan keseharian mereka.
Tak
Hilang Tetanda di Alam Pikiran
Tanggal 28 Juli 2010 kami
menelusuri sisi barat dari Gunungkidul daerah dusun Ngobaran. Berbekal sebuah
alamat yang kami dapatkan dari kepolisian tentang kasus bunuh diri yang belum
lama ini terjadi.
Partodirjo
Sebuah bayangan fiktif di
kepala ketika kami pertama kali mengetuk sebuah rumah papan sederhana dengan
jalan setapak yang gelap. Bayangan fiktif tentang seseorang bernama Partodirjo,
kami katakan demikian karena pada saat pintu rumah terbuka seketika kami
melihat sekeluarga dalam ruangan sederhana gelap, berderet-deret lajur
anak-anak berbaring di lantai dengan posisi yang sama tengkurap dan wajah
relatif riang. Ibu dari anak-anak tersebut juga neneknya bersanding lekat dalam
suasana kekeluargaan. Rasa duka yang sebelumnya terbayang oleh kami ternyata
tidak kami jumpai, melainkan suasana tradisional komunal yang ada di depan kami
saat itu, sedangkan bayangan almarhum Partodirjo yang merupakan kakek bagi
keluarga tersebut tak kami dapatkan dalam bias-bias kedukaan di keluarga.
Bagi kami sebagai orang
luar, Partodirjo adalah sebuah sosok dalam permasalahan kesedihan yang telah
hilang. Dan kini ternyata telah menjadi tokoh fiktif yang hilang oleh suasana
kehangatan pada keluarga tersebut.
Lintasan-lintasan ingatan
kami sebelum menemukan alamat itu dan sewaktu bertanya kepada pemuda-pemuda di
warung dengan jawabannya yang ringan “Oh, Parto yang meninggal karena bunuh
diri itu” lalu disambung seorang pemuda yang membawa kami ke tempat keluarga
Parto dengan perasaan yang biasa saja tanpa selintas pun menyinggung kejadian
yang baru menimpa keluarga tersebut. Semuanya ini seakan menghantar kami ke
dalam permasalahan yang kini tidak ada. Ada apa ini?
Tak mungkin sebuah
kehilangan tak memberikan jejak kesedihan bagi mereka. Dengan kedekatan pada
saat mereka berbaring bersama, bersinggungan badan satu sama lain diantara
mereka, lajur-lajur berbaring mereka di lantai dan berhimpitan di sebuah
ruangan yang relatif longgar seakan memberi gambaran kepada kami sebuah
kesedihan akan terasa mudah jika dihadapi bersama. Sebuah gambaran keluarga
tradisional yang berdasarkan suatu ikatan kekeluargaan yang erat, tampak nyata
di keluarga ini.
Menurut Triyoga (1991: 5)
struktur keseluruhan dari masyarakat, alam dan alam adikodrati tercipta dalam
keadaan selaras atau harmonis. Selain dirinya sendiri, segala yang ada dalam
struktur keselarasan kosmos dihayati sebagai hidup, berhayat dan berjiwa. Oleh
sebab itu, manusia Jawa dalam kehidupannya harus selalu mengembangkan sikap
rukun dan hormat terhadap dirinya sendiri, sesama manusia, alam dan alam
adikodrati, demi terjaganya kesatuan dan keselarasan kosmos. Sikap rukun dan
hormat ini diekspresikan dalam bentuk bahwa segala situasi hendaknya ia
bersikap sedemikian rupa sehingga sesuai dengan posisinya, baik yang horisontal
maupun vertikal, sehingga tidak menimbulkan konflik baik bagi batinnya sendiri,
sesamanya, alam maupun alam adikodrati. (dalam Triyoga, Lucas Sasongko, 1991,
Manusia Jawa dan Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).
Kenyataan kejadian yang
menimpa Parto bukan lagi menjadi pikulan bagi masing-masing anggota keluarga
tersebut melainkan telah menjadi permasalahan bersama. Memori terhadap Parto
adalah memori bersama sehingga kesedihannyapun adalah kesedihan yang dihadapi
bersama. Dengan bersikap seperti ini seakan-akan mereka sanggup mengurainya
menjadi ringan.
Dengan dasar berperilaku
seperti ini dan mempunyai kepercaryaan bahwa setiap individu diharapkan untuk
menjaga keharmonisan dan juga setiap individu menyandang muatan adikodrati
seperti hal-nya dia menjaga bahwa keseluruhan alam mempunyai daya hidup,
berhayat dan berjiwa demi menjaga kesatuan dan keselarasan bagi sesamanya.
Kami mengikuti irama
keluarga itu, beramah tamah sebagai tamu bagi mereka. Setelah mengamati lebih
lanjut ternyata Sumirah; istri Partodirjo merupakan bagian tersendiri dari
kebersamaan kegembiraan keluarga itu, dia relatif tidak beringsut dari duduknya
yang bersimpuh melekat kebumi, jemari tanganpun tidak bergerak dari lututnya,
ujung jarinya tak sadar menunjuk tanah di depannya seakan dia ingin mengatakan
bahwa bumi tempat yang diinjaknya itu merupakan alam kosmos yang selain
dihormatinya tetapi juga telah mempunyai kekuasaan untuk merenggut suami dari
sisinya. Posisi duduknya yang membatu mencerminkan suatu kepasrahan hidup.
Dengan posisi duduk yang demikian untuk waktu yang lama, bisa dimengerti juga
sebagai suatu posisi meditasi Buddha di dalam keseharian. Penghayatan suatu
kesedihan yang bergerak dan larut dalam keseharian. Tak banyak kata-kata dari
bibirnya. Wajahnya diam membatu, sekilas matanya berkaca-kaca. Dan perlahan
kami ingin juga mengetahui cerita dan permasalahan di sekitar Partodirjo.
Partodirjo, sosok yang
tidak beruntung di matanya. Sejak kecil telah akrab dengan kegelapan pada siang
hari, kelainan pada matanya menyebabkan tidak dapat menikmati terangnya siang
hari. Pendar-pendar matahari baginya malah menjadi siksaan yang menyebabkan
menjadi gelap. Kegelapan yang lebih gelap bagi Parto adalah di siang hari.
Baginya, siang tak ada. Yang ada hanyalah semangat ikut dalam aktivitas
keseharian untuk berkebun. Tanpa mengeluh dia melakukan rutinitas tersebut
walaupun pada 4-5 tahun terakhir fisiknya sudah tidak memungkinkan lagi karena
penyakit liver yang dideritanya juga. Meski gelap bagi Parto tidak lagi menjadi
gelap bagi dirinya, semangat menjalani keseharian: mencangkul, membersihkan
rumput dan menanam pohon merupakan suatu hal yang ringan bagi Parto karena
didasari oleh semangat dan ikatan kekeluargaan. Gelap menjadi terang karena ini
semua dan Parto pun telah menjadi terbiasa dengan situasi ini. 5 tahun telah
lewat dengan kemenangan hati si Parto.
Tetapi suatu pagi di hari
rabu tanggal 14 Juli 2010, di dekat pantai di daerah Ngobaran telah menjadi
saksi sebuah kekalahan dari upaya hidup seseorang. Leher Partodirjo terjerat
pada seutas tali kecil yang diikatkan pada kayu atap sebuah gubuk tempat dia
beristirahat ketika berladang. Saat menggantung, kaki Partodirjo masih
menyentuh tanah seperti layaknya posisi yang beringsut, jongkok tidak berdiri
pun tidak, hal ini membuat masih ada cukup ruang di tenggorokannya untuk
bernafas, posisi tubuh yang sama sekali tidak bergantung, sangat berbeda dengan
bayangan kami tentang gantung diri pada umumnya. Kejadian ini kembali kami
jumpai di Gunung Kidul bahwa suatu posisi dengan tak lazimnya orang gantung
diri telah mengakibatkan hilangnya nyawa Partodirjo. Tarikan tali di leher dan
“jejakan kaki” di tanah sepertinya adalah dua kutub antara tarikan mati dan
hidup, batas tipis mati dan hidup terbaca di posisi ini. Bila sang kaki lebih
kuat menjejakan ke bumi, leher akan mendapat ruang untuk bernapas sedangkan
leher akan berayun pada jeratan tali bila mana memang kaki dibiarkan lunglai
tak menapak tanah. Ini membutuhkan suatu pilihan atau kehendak yang besar untuk
mengabaikan garis keselamatan dengan membiarkan leher terjerat. Pada titik
hidup terakhir pun kehendak mati tidak menjadikan suatu penyesalan dan entah
tenaga atau dorongan apa sehingga bertekad menentukan pilihannya.
“Kalau dimengerti secara
logika cara bunuh dirinya Partodirjo tidak masuk akal, tidak mengakibatkan
kematian. Karena posisi menggantungnya dengan kaki yang menyentuh tanah dan
tidak bergantung masih bisa bernafas lega tetapi inilah yang dinamakan takdir,
mungkin takdir kakak saya harus berakhir seperti ini, dengan posisi demikian
bisa mengakibatkannya meninggal dunia.” demikian kata adik Partodirjo
mengomentari kematian kakaknya.
Tentang keanehan posisi
gantung diri ini bagi mereka ada penyebabnya, seperti yang dia katakan: “Jadi
pada kejadian seperti ini bola apilah penyebabnya dan pasti ada yang melihatnya
dan kalau tidak ada bola api tersebut tidak akan terjadi bunuh diri ini. Itupun
akan berakibat pada orang yang sedang kosong pikirannya. Ini mitos yang
benar-benar terjadi.”
Jiwa
yang Diletakkan pada Tanda Cinta
Seorang anak perempuan
yang duduk dikelas 4 SD berusia sekitar 10 tahun, tinggal di daerah Playen
ditemukan oleh pamannya menggantung diri di kamarnya. Seutas sabuk kecil
melilit di lehernya, berkait dengan pinggiran ranjang besinya. Pinggiran
ranjang yang berhias bentuk hati dan berwarna hijau pupus merupakan tempat
“menaruh” nyawanya. Seakan suatu kesejukan hijau dan gambaran berbentuk hati
menjadi suatu keinginan yang diharapkan bagi si anak. Angan-angan yang tidak
didapatkan sehingga dia menaruh kecewa pada sekelilingnya. Seringkali bagi
masyarakat mengetahui kejadian besar semacam ini dilakukan atas dasar suatu alasan
yang teramat sederhan. Di samping itu, masyarakat sekitar juga kerap
mengaitkannya dengan pulung gantung. Versi yang berbeda akan memberikan suatu
alasan yang berbeda pula atas suatu kejadian.
Suatu hari, ia tidak
bersekolah dikarenakan satu-satunya seragam yang hendak dipakai masih basah. Di
benaknya, tentu alasan ini tidak dapat diterima oleh pembina di sekolahnya dan
pastinya akan mendapatkan teguran. Tak ayal, kekalutan terhadap sekeliling
merupakan suatu ancaman dari pikirannya sendiri. Maka, diam-diam dicarilah
sebuah tempat yang aman untuk menaruh hati kanaknya itu.
Seragam basah bukanlah
merupakan suatu pembenaran untuk alasan tindakan fatal tersebut. Perihal
sederhana tentang seragam merupakan suatu bentuk kerapuhan dan kekhawatiran
terhadap sekeliling, serta bagaimana penerimaan terhadap dirinya. Satu hari
absen bersekolah dan kekesalan terhadap sepotong seragam basahnya menjadikannya
kesal sekaligus sedih berkepanjangan. Baginya dan di mata teman-temannya, tak
ada alasan untuk tak bersekolah serta; tak ada alasan seragam dapat menjadi
basah.
Kakinya masih dapat
dijejakan pada kasur tempat tidur, sehingga tak terlalu menggantung posisi
tubuhnya, tetapi kemauan serta tekad untuk meniadakan dirinya itu membuat
topangan yang seharuasnya masih dapat dilakukan agar tetap bernafas, walau di
leher telah terjerat sepotong sabuk tetap dia memilih untuk menggantungkan
tubuhnya pada jeratan dileher. Pilihan telah diambil antara jejakan kaki di
kasur yang dapat membuat dia tetap bernafas atau tarikan sabuk di leher. Tetapi
si anak telah mengambil keputusan terakhir dengan mengabaikan jejakan kaki di
kasur ranjangnya. Keputusan ini adalah pilihan, mengambil kesakitan daripada
kenyamanan empuknya kasur (hidup).
Kamu
Telah banyak lepas tahun
yang kau lalui, pergulatanmu dengan alam dengan rasa kuat tubuhmu yang hendak
membentuk tanah dan tegal agar dapat tumbuh tunas daun hijau. Kau demikian kuat
untuk dapat mengolah ini semua, cangkulan tajam dan jejakan jari kakimu
mengakar dan menapak seakan cakar yang dalam dan tak bergeming meski sering
kakimu luka oleh batu putih tajam.
Lalu, semua ini seakan tak
berarti lagi oleh kau, kekuatanmu telah diuji oleh rasa gatal di kemaluanmu,
bertahun dengan jam demi jam rasa gatal itu demikian mengganggumu,
berakibat hanya berkeinginan untuk
menggaruk dan menggaruk hingga membuat rasa menebal panas di sekeliling
kemaluanmu itu. Terkadang jari kasar dan kukumu yang menghitam itu menggaruk
kuat dan semakin kau garuk semakin dalam rasa gatal panas menggigit kedalam
kulit sekitar kemaluanmu itu. Kau tenggok kemaluanmu sendiri “ada apakah
didalam kulitku ini? Adakah serangga-serangga berumah menggumpal merayap dan
menyebar di bawah kulitku ini?” Lalu, kau kembali menggaruknya hingga
lecet-lecet, hal ini membuatmu puas tetapi sekaligus juga rasa gatalnya
bertambah hingga kulitmu memanas tebal, gerakan tanganmu semakin kencang seakan
hendak menyayat dan menyobek permukaan kulitmu itu tetapi semakin panas serta
bertambah rasa gatal yang kau dapatkan.
Pengobatan tak berhasil,
tak mungkin memenggal bagian gatal ini saja, rasa frustasi semakin membuat
tegang dan berakibat kambuhnya gatal setiap waktu, rasanya hendak dikoyak.
Akhirnya, 2007 kau memutuskan meniadakan dirimu di beranda rumah dan tidak
sekedar memenggal area kemaluanmu saja. Sekali dan dua kali upaya bunuh dirimu
terselamatkan keluarga, dan ketiga kalinya berhasil. Selesailah gatalmu dan
selesailah hidupmu.
Sampai
pada Sebuah Pemahaman
Demikian rangkaian
kunjungan kami ke Gunung Kidul sebuah tempat yang tak berjarak jauh dari Jogja
tetapi mepunyai atmosfer yang berbeda. Satu perbedaan yang paling menarik bagi
kami setelah beberapa kali menelusuri daerah di Gunung Kidul ternyata rata-rata
dari keluarga yang berkaitan dengan bunuh diri di Gunung Kidul mempercayai
bahwa pulung gantung mempunyai peran yang besar. Pengetahuan mereka terhadap
pulung gantung telah menjadi suatu pengetahuan sehari-hari. Populasi bunuh diri
yang signifikan baik karena permasalahan yang sepele maupun tanpa permasalahan
telah dianggap menjadi suatu hal yang lumrah bagi masyarakat di sana.
Memang pada umumnya
kematian karena bunuh diri tidak memberi suatu tetanda apapun sebelumnya tetapi
biasanya setelah kejadian baik keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya
dapat mengetahui alasan dibalik tindakan tersebut. Sedangkan di Gunung Kidul
kejadiannya berbeda. Keluarga yang ditinggalkannya kebanyakan tidak menangkap
suatu alasan apapun. Pilihan yang diambil menyisakan suatu misteri tetapi
faktanya pulung gantung bagi mereka selalu berada di dalam lingkaran permasalah
ini.
Sisa-sisa tentang keberadaan seseorang dan kekosongan bagi yang
ditinggalkannya merupakan satu hal yang tidaklah ringan bagi kami ketika harus
mengungkap kejadian tersebut. Kami tangkap, bagi mereka tidak cukup sekedar
suatu keiklasan ataupun ketabahan saja karena kepergian dengan cara bunuh diri
juga menyisakan suatu hal yang tak kalah beratnya, menjadi pernyataan dan
memori yang panjang dari masyarakat sekitar. Kata-kata ”Oh, bapak anu yang
meninggal karena bunuh diri itu” telah menjadi suatu tetanda terhadap kematian
seseorang, sekaligus menjadi tetanda pula bagi keluarganya, meski permakluman
ataupun bala telah dicoba untuk dihilangkan dengan penguburan tanpa prosesi
yang layak serta tempat-tempat yang digunakan meniadakan diri juga telah
dihilangkan tetapi anak keturunan selanjutnya tetap akan memikul beban tetanda.
0 komentar:
Posting Komentar