banaanaalicious. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Bai Fang Li : Memberi dalam Kekurangan


Sebuah artikel yang hari ini saya temukan dari internet membuat saya terenyuh. artikel itu menceritakan tentang seorang kakek tua di Tianjin, Cina bernama Bai Fang Li. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya.
Bai Fang Li, hampir selama 20 tahun dia menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk memperoleh uang untuk menambah donasinya. Makan siangnya adalah 2 buah kue kismis dan air tawar. Kemewahan untuknya adalah menaruh saus ke dalam air. Makan malamnya hanya berupa sepotong daging atau sebutir telur. Apa yang dia kenakan adalah apa yang dia punya. beberapa potong helai pakaian adalah sebuah kemewahan baginya. Dia mengayuh selama 365 hari dalam setahun, dalam keadaan panas menyengat atau waktu salju turun. Dia mulai bekerja pada pukul 6 pagi dan berhenti pada pukul 7 malam.

“Tidak apa-apa saya menderita, asal anak-anak miskin itu dapat bersekolah” katanya.

Saat berusia 90 tahun, dia menyumbangkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar Rp 650.000) yang disimpannya dengan rapi dalam suatu kotak dan menyerahkannya ke sekolah Yao Hua. Dia berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan….”
Semua guru di sekolah itu pun menangis…
Bai Fang Li, wafat pada usia 93 tahun, meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan sejumlah uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1.300, setara Rp 455.000.000) yang dia berikan kepada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih dari 300 anak anak miskin dan yatim piatu.

image
image


The Story Life Bai Fang Li

image

Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya, dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam. Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
image

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

image

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
image

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di mukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia bersyukur untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah makanan yang sangat berharga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah dalam usia 74 tahun Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya. Pakaian yang dia kenakan adalah yang diambilnya dari tempat sampah. Beberapa helai pakaian adalah suatu kemewahan. Seluruhnya sisa uangnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

image


Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.
image


Putrinya, Bai Jin Feng, menceritakan :”Ia menderita sepanjang hidupnya. Hemat terhadap makanan dan minuman. Menjahit dan menambal terus menerus pakaian yang ia kenakan. Ketika kamu membuang pakaian usangnya dan membelikannya yang baru, ia tidak akan mengenakannya bahkan ia juga marah-marah. Ia tetap mengenakan pakaian usangnya”

image 

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.


“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mengharapkan penghargaan. Uang yang ia danakan ditujukan kepada para siswa yatim piatu yang memerlukannya. Ia tidak pernah meminta nama-nama siswa yang menerima bantuannya. Ia hanya pernah sekali berfoto bersama dengan beberapa siswa tersebut.


“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,”


Saat ditanya harapan yang ia miliki terhadap para siswa yatim piatu itu, ia menjawab dengan rendah hati, “Saya hanya ingin mereka rajin belajar, mampu bekerja, menjadi orang yang berguna dan berbakti kepada negara.”
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

image 

Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……”katanya dengan sendu.

Semua guru di sekolah itu menangis……..

Kalimat semacam itu baru pertama kali didengar oleh putri Bai Fang Li yang bernama Bai Jin Feng. Ayahnya tidak pernah menyerah sebelumnya..


Bai Fang Li wafat pada tanggal 23 September 2005 dalam usia 93 tahun. Ia meninggal dalam kemiskinan. Ia telah dinyatakan dokter menderita kanker paru-paru sejak Mei 2005. Ia tidak menyisakan uang maupun harta benda lainnya untuk dirinya sendiri. Ia hanya memiliki kerelaan dan cinta kasih.
image


Sekalipun begitu, dalam kurun waktu hampir 15 tahun (1986 – 2000) dia telah menyumbangkan uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, kira-kira setara 455 juta rupiah) melalui Organisasi Bantuan Pendidikan yang ia dirikan. Ia berdana kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin. 
Sangat banyak orang yang datang mengantarkan jenasahnya menuju ke peristirahatan terakhirnya.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan “Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa“.

image

image
image
image


Di tengah kehidupan dunia yang berpusat pada kepentingan pribadi, kalau perlu saling sikut dan membinasakan demi keuntungan sendiri, apa yang dilakukan Bai Fang Li menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang-orang berhati mulia melebihi emas di muka bumi ini. Ketika orang terus merasa dirinya tidak mampu dan menolak membantu orang yang susah meski hanya sedikit saja sekalipun, Bai Fang Li menunjukkan bahwa ia masih terus bisa memberi dalam kekurangannya. 
Bai Fang Li sudah tiada, namun jasanya akan terus dikenang orang. Ia tidak membutuhkan pujian, ada atau tidak ia terus memberi kepada sesamanya. Saya yakin meskipun secara fisik ia menderita, tetapi hatinya bahagia karena mampu melakukan sesuatu bagi orang lain. “Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”, itu bunyi tulisan di atas foto terakhirnya. Sebuah ungkapan kasih untuk orang yang memiliki kasih yang begitu luar biasa. Bai Fang Li membuktikan bahwa kasih tidak mengenal batas dan sekat. Dia membuktikan bahwa tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak melakukan sesuatu bagi penderitaan orang lain. Li menunjukkan bahwa talenta sekecil apapun akan mampu memberi sumbangan besar bagi dunia. Dan Li membuktikan bahwa “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”

Kemiskinan tidak membatasi orang untuk bisa berbuat sesuatu dengan kekayaan hatinya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar